reformasi ekonomi di indonesia

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulisan makalah yang berjudul “Reformasi ekonomi indonesia” ini, bertujuan untuk mengetahui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sesuai dengan nilai – nilai pancasila dan UUD 1945 baik dalam bidang politik, ekonomi, social dan hokum. Kami menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu dikarenakan kemampuan kami yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari Bapak dosen mata kuliah: perekonomian indoneisa serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Kami berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami sendiri dan bagi para pembaca umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa yang akan datang.

Makassar,           Oktober 2012

Penyusun

REFORMASI PEREKONOMIAN INDONESIA
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktorfaktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi. Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang menentukan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh ditawar- tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut.
Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indoenesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.
A.    Krisis finansial Asia
Krisis moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan begitu saja.
Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional.
Memasuki tahun anggaran 1998 / 1999, krisis moneter telah mempengaruhi aktivitas ekonomi yang lainnya. Kondisi perekonomian semakin memburuk, karena pada akhir tahun 1997 persedian sembilan bahan pokok sembako di pasaran mulai menipis. Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik tidak terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat. Untuk mengatasi kesulitan moneter, pemerintah meminta bantuan IMF. Namun, kucuran dana dari IMF yang sangat di harapkan oleh pemerintah belum terelisasi, walaupun pada 15 januari 1998 Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF.
Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri.
Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat.
Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang masih rendah.
Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.
Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada bidang ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan yang berasala dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya dengan kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam merebut ruang, halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:
1)      Hutang luar negeri
Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinyakrisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapisangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi.
2)      Industrialisasi
pemerintah Orde Baru ingin menjadikan negara RI sebagai negaraindustri. Keinginan itu tidak sesuai dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia.Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (rata-rata).
3)       Pemerintahan Sentralistik
pemerintahan Orde Baru sangat sentralistik sifatnyasehingga semua kebijakan ditentukan dari Jakarta. Oleh karena itu, peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan pemerintah daerah hanya sebagaikepanjangan tangan pemerintah pusat

B.     Kebijaksanaan Pemerintah Mengatasi Krisis
Krisis ekonomi dengan berbagai dampak negatif sebagaimana telah diuraikan di atas, secara serius telah diupayakan untuk diatasi dengan melaksanakan kebijaksanaan ekonomi baik yang bersifat makro maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijaksanaan ekonomi tersebut memiliki dua sasaran strategis, yaitu pertama, mengurangi dampak negatif dari krisis tersebut terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dan rentan; dan kedua, pemulihan pembangunan ekonomi ke jalur petumbuhan yang tinggi. Kedua tugas tersebut sangat penting antara lain karena:
1.       Meluasnya pengangguran akibat krisis yang terjadi di satu pihak dapat memicu timbulnya kerusuhan sosial, sementara di lain pihak apabila berlangsung lama dapat menurunkan daya saing angkatan kerja, karena mereka tidak mampu lagi menguasai perkembangan ketrampilan baru yang sangat diperlukan.
2.      Kapasitas produksi baik pada industri pengolahan maupun sarana dan prasarana pengangkutan, komunikasi, serta energi yang menganggur tanpa pemeliharaan yang baik akan menjadi rusak.
3.      Meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok dan barang-barang lainnya secara berlanjut, pada gilirannya akan menambah jumlah penduduk miskin karena daya beli mereka akan terus merosot.
4.      Kemunduran dalam pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan terutama bagi putraputri penduduk berpendapatan rendah, akan mengganggu upaya pemberdayaan kelompok penduduk tersebut di masa datang.

1. Kebijaksanaan Ekonomi Makro

Kebijaksanaan ekonomi makro yang telah dilaksanakan pemerintah dalam upaya menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing adalah melalui kebijaksanaan moneter yang ketat disertai anggaran berimbang, dengan membatasi deficit anggaran sampai pada tingkat yang dapat diimbangi dengan tambahan dana dari luar negeri. Kebijaksanaan moneter yang ketat dengan tingkat bunga yang tinggi selain dimaksudkan untuk menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, dengan menahan naiknya permintaan aggregat, juga untuk mendorong masyarakat meningkatkan tabungan di sektor perbankan.
Meskipun demikian pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tingkat bunga tinggi dapat menjadi salah satu faktor terpenting yang akan berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi atau bersifat kontraktif terhadap perkembangan PDB. Oleh karena itu tingkat bunga yang tinggi tidak akan selamanya dipertahankan, tetapi secara bertahap akan diturunkan pada tingkat yang wajar seiring dengan menurunnya laju inflasi.

2. Kebijaksanaan Ekonomi Mikro
Kebijaksanaan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah, ditujukan, antara lain:
a.       untuk mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dikembangkannya jaring pengaman sosial yang meliputi program  penyediaan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan pendidikan dan kesehatan pada tingkat sebelum krisis serta penanganan pengangguran dalam upaya mempertahankan daya beli kelompok masyarakat berpendapatan rendah;
b.      sistem perbankan dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga perbankan;
c.       merestrukturisasi hutang luar negeri;
d.      mereformasi struktural di sektor riil; dan
e.       mendorong ekspor.
a)      Jaring Pengaman Sosial
Dalam kaitan ini berbagai langkah telah dilakukan untuk menambah alokasi anggaran rutin (khususnya untuk subsidi bahan bakar minyak, listrik dan berbagai jenis makanan kebutuhan pokok), mempertajam prioritas alokasi dan meningkatkan efisiensi anggaran pembangunan.
Hal ini dilakukan melalui peninjauan kembali terhadap program dan kegiatan proyek pembangunan, antara lain, dengan:
1.      menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak;
2.      melakukan realokasi dan menyediakan tambahan anggaran untuk bidang pendidikan dan kesehatan;
3.      memperluas penciptaan kerja dan kesempatan kerja bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, yang dikaitkan dengan peningkatan produksi bahan makanan serta perbaikan dan pemeliharaan prasarana ekonomi, misalnya jalan dan irigasi, yang dapat memperlancar kegiatan ekonomi; dan
4.      memperbaiki sistem distribusi agar berfungsi secara penuh dan efisien yang sekaligus meningkatkan partisipasi peranan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi.

Sebagai akibat dari peninjauan kembali seluruh program dan kegiatan proyek pembangunan, total anggaran dalam revisi APBN untuk sektor pertanian, pengairan, perdagangan dan pengembangan usaha, pembangunan daerah, pendidikan, kesehatan, perumahan dan permukiman, dalam tahun anggaran 1998/99 tidak hanya mengalami peningkatan yang cukup besar dibandingkan dengan APBN sebelum revisi, tapi secara riil juga lebih besar dari realisasi anggaran pembangunan tahun 1997/98, sedangkan alokasi anggaran pembangunan untuk sektor lainnya secara riil mengalami penurunan.
Implikasi dari pelaksanaan program jaring pengaman sosial yang disertai langkah
penyesuaian untuk mempertajam prioritas alokasi dan peningkatan efisiensi anggaran
pembangunan, pemerintah tidak dapat menghindari terjadinya defisit yang sangat besar,
lebih kurang 8,5 persen terhadap PDB, dalam revisi APBN 1998/99. Hal ini disebabkan oleh karena penerimaan dalam negeri dalam kondisi kontraksi PDB serta menurunnya harga migas di pasar internasional sangat sulit untuk dapat ditingkatkan, walaupun sudah termasuk adanya divestasi dalam BUMN.
Pemerintah sangat menyadari bahwa defisit APBN sebesar 8,5 persen terhadap PDB tidak sustainable, itulah sebabnya akan diupayakan untuk menurunkannya minimal menjadi setengahnya pada tahun 1999/2000 dan mengembalikan anggaran menjadi berimbang dalam jangka waktu 3 tahun. Sehubungan dengan ini akan terus dikaji langkah-langkah untuk menetapkan pemberian subsidi yang lebih tepat dan pelaksanaan program lain dalam kerangka jaring pengaman sosial. Pemantauan dan evaluasi program penciptaan lapangan kerja serta program di bidang pendidikan dan kesehatan akan terus disempurnakan agar dapat dipastikan bahwa yang memperoleh manfaat terutama adalah penduduk miskin.
Di samping itu peningkatan kinerja penerimaan negara dan manajemen pengeluaran Negara akan merupakan unsur terpenting dalam upaya menekan defisit anggaran. Dalam kaitannya dengan upaya memperkuat manajemen pengeluaran, akan disusun kerangka prioritas dalam pengeluaran negara yang lebih jelas, persiapan penyusunan anggaran yang lebih efisien, kontrol manajemen kas, serta penyusunan laporan yang komprehensif, akurat dan tepat waktu.
Penerimaan negara dari perpajakan diupayakan untuk ditingkatkan dengan menghilangkan berbagai bentuk pengecualian terhadap pengenaan pajak pertambahan nilai; meningkatkan nilai jual objek pajak atas PBB (pajak bumi dan bangunan) sektor perkebunan dan kehutanan serta meningkatkan pendapatan pajak bukan migas melalui peningkatan cakupan audit tahunan, penyempurnaan program audit PPN dan peningkatan penerimaan tunggakan pajak. Sementara itu upaya meningkatkan penerimaan bukan pajak mencakup pengumpulan dana oleh pemerintah di luar anggaran serta meningkatkan kinerja BUMN dengan privatisasi dan peningkatan dalam manajemennya.

b) Penyehatan Sistem Perbankan

Untuk menggerakkan kembali roda perekonomian dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, langkah-langkah mendasar dari kebijakan penyehatan dan restrukturisasi perbankan pada dasarnya terdiri dari dua kebijakan pokok, yaitu:
1.      Kebijakan untuk membangun kembali sistem perbankan yang sehat guna mendukung pemulihan dan kebangkitan perekonomian nasional melalui:
a.       program peningkatan permodalan bank,
b.      penyempurnaan peraturan perundang-undangan, antara lain, mencakup:
1. perizinan bank yang semula merupakan wewenang Departemen Kuangan dialihkan kepada    Bank Indonesia.
2.     investor asing diberikan kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemegang saham bank.

3.  rahasia bank yang semula mencakup sisi aktiva dan pasiva diubah menjadi hanya mencakup  nasabah penyimpan dan simpanannya.
c.       penyempurnaan dan penegakkan ketentuan kehati-hatian, antara lain:
i.                    Bank-bank diwajibkan untuk menyediakan modal minimum (Capital Adequacy Ratio) sebesar 4% pada akhir tahun 1998, 8% pada akhir tahun 1999, dan 10% pada akhir tahun 2000, sebagaimana telah diumumkan pemerintah pada bulan Juni 1998.
ii.                Melakukan tindakan hukum yang lebih tegas terhadap pemilik dan pengurus bank yang terbukti telah melanggar ketentuan yang berlaku.
2.      Kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan perbankan yang telah terjadi dengan mempercepat pelaksanaan penyehatan perbankan. Langkah-langkah yang telah dan akan ditempuh dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi, membangun kembali sistem perbankan yang sehat, dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, antara lain, meliputi:
a.       Pemberian jaminan pembayaran kepada deposan dan kreditur;
b.      pembentukan Badan Penyehatan. Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas untuk melakukan restrukturisasi bank-bank yang kurang atau tidak sehat;
c.       melakukan due diligence terhadap bank-bank yang diambil alih pengelolaannya dan terhadap bank-bank lainnya; dan
d.      menyusun RUU perbankan yang akan mengatur kembali ketentuan mengenai kerahasian bank, pengawasan, pemilikan investor asing, dan kedudukan BPPN serta bank sentral.
Dengan kebijaksanaan tersebut di atas diharapkan kinerja perbankan nasional menjadi
lebih sehat dan efisien sehingga terpercaya serta mampu menjadi bank yang dikelola
secara profesional terutama dalam menghadapi era globalisasi yang menuntut daya
saing tinggi.
c) Restrukturisasi Hutang Luar Negeri

Hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank-bank yang besar telah menjadi penyebab terpenting terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Hutang-hutang tersebut dalam tahun 1998/1999 akan jatuh tempo dalam jumlah yang besar. Padahal melemahnya nilai tukar rupiah yang terus berlanjut akan semakin memperburuk kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu untuk mengurangi permintaan terhadap mata uang asing dan sekaligus memberi kesempatan kepada para debitur untuk menyelesaikan hutang-hutangnya, dalam kesepakatan Frankfrut tanggal 4 Juni 1998, telah disusun kerangka restrukturisasi hutang dunia usaha, skema penyelesaian hutang antar bank dan pengaturan tentang fasilitas pembiayaan perdagangan.
Dalam kesepakatan tersebut para kreditur dan debitur secara sukarela dapat menyepakati jumlah hutang dan perubahan pinjaman menjadi equity, dan ada persyaratan minimal masa pengembalian 8 tahun termasuk masa tenggang 3 tahun, maka dilihat dari upaya penguatan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, berarti restrukturisasi hutang swasta dan perbankan tersebut minimal dapat mengurangi permintaan valuta asing selama 3 tahun. Untuk mendorong penyelesaian hutang swasta telah diluncurkan Prakarsa Jakarta yang memungkinkan para kreditur dan debitur menyelesaikan hutang piutang di luar pengadilan niaga, yaitu melalui restrukturisasi modal perusahaan.
Restrukturisasi hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank di Indonesia serta penambahan dana luar negeri baik yang berasal dari CGI maupun tambahan dana dari IMF telah dapat meningkatkan sisi penyediaan valuta asing. Sebagai konsekuensi interaksi antara naiknya persediaan dengan turunnya permintaan valuta asing tersebut diharapkan dapat menguatkan nilai tukar rupiah, yang pada gilirannya juga akan menurunkan laju inflasi. Untuk kepentingan itulah dan untuk menarik modal asing masuk ke Indonesia maka pemerintah hingga saat ini masih mempertahankan kebijaksanaan lalulintas devisa dengan sistem devisa bebas.
Sementara itu untuk mengurangi tekanan terhadap keuangan negara dan
neraca pembayaran luar negeri, melalui Paris Club, Indonesia telah melakukan penjadwalan kembali hutang pemerintah untuk tahun 1998/1999 – 1999/2000. Dalam rangka itu pemerintah telah berhasil menunda pembayaran cicilan pokok sebesar US dollar 4,2 miliar.

d) Reformasi Struktural di Sektor Riil

Agar perekonomian, terutama sektor riil dapat berkembang lebih efisien, pemerintah melancarkan berbagai program reformasi struktural. Reformasi struktural di sektor riil mencakup:
a.       penghapusan berbagai praktek monopoli,
b.      deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan dalam dan luar negeri dan bidang investasi, dan
c.       privatisasi BUMN.

Meskipun perekonomian nasional sebelum krisis ekonomi mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi ternyata terdapat kelemahan-kelemahan, antara lain, adanya praktek praktek monopoli di berbagai bidang usaha. Dengan praktek-praktek monopoli telah terjadi konsentrasi kekuatan pasar hanya pada satu atau beberapa pelaku usaha, sehingga kegiatan produksi, distribusi menjadi tidak efisien dan secara lebih luas daya saing perekonomian nasional menjadi lemah.
Kebijaksanaan penghapusan monopoli yang telah dan akan dilakukan, antara lain adalah: penghapusan monopoli yang dilakukan oleh Bulog dalam mengimpor dan penyaluran barang-barang kebutuhan pokok masyarakat seperti minyak goreng, gula pasir, terigu, dan jagung, sehingga Bulog hanya akan menyalurkan beras; penghapusan BPPC; penghapusan kegiatan usaha yang terintegrasi secara vertikal atau horizontal, monopoli produksi minyak pelumas oleh Pertamina dan lain-lain. Dalam upaya menghapus monopoli tersebut pemerintah telah mengajukan ke DPR RUU tentang persaingan yang sehat. Dengan adanya penghapusan monopoli diharapkan ekonomi biaya tinggi bisa dihindarkan sehingga bisa meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
Dengan hapusnya monopoli, masyarakat juga diuntungkan sebab akan memperoleh
barang dengan kualitas yang lebih baik dengan harga yang lebih murah. Dalam kaitannya dengan deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, antara lain, mencakup:
a.       mencabut peraturan yang membatasi kepemilikan investor asing sampai 49 persen dari perusahaan-perusahaan yang telah terdaftar pada pasar modal;
b.      merevisi daftar negatif investasi dengan pengurangan jumlah bidang usaha yang tertutup bagi investor asing;
c.       mencabut pembatasan investasi asing dalam perkebunan kelapa sawit, dalam perdagangan eceran dan dalam perdagangan besar;
d.      mencabut ketentuan tataniaga yang bersifat restriktif untuk pemasaran semen, kertas dan kayu lapis;
e.       menghapus harga patokan semen (HPS); dan
f.       menerapkan perdagangan bebas lintas batas Dati I dan Dati II untuk semua komoditas termasuk cengkeh, kacang mete dan vanili dan mencabut kuota yang membatasi penjualan ternak.
g.      e) Promosi Ekspor

Dalam situasi permintaan dalam negeri yang menurun, maka wahana untuk memulihkan kembali perekonomian Indonesia adalah melalui promosi ekspor. Tambahan pula dengan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi tinggi dewasa ini, Indonesia makin memiliki daya saing dalam barang ekspor yang padat karya dan padat kekayaan alam. Namun peningkatan ekspor dewasa ini dihadapkan kepada beberapa kendala, yakni keengganan pihak luar negeri membeli barang Indonesia, ketiadaan bahan baku, serta hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ekspor, seperti misalnya operasi pelabuhan, kecepatan kerja, bea dan cukai, dan administrasi perpajakan.
Keengganan pembeli luar negeri untuk merencanakan pembelian terhadap produk industry manufaktur Indonesia, antara lain, disebabkan oleh kekhawatiran mereka atas
ketidakmampuan para pengusaha Indonesia untuk dapat memenuhi pesanan tersebut tepat waktu. Hal ini erat kaitannya dengan permasalahan sosial politik yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Dengan demikian dalam upaya untuk mendorong ekspor, upaya terwujudnya stabilitas sosial politik sangatlah penting.
Kesepakatan Frankfurt akan berdampak positif bagi penyediaan bahan baku impor yang dibutuhkan untuk memperlancar kegiatan produksi yang berorientasi ekspor. Selain itu mulai bulan Juli 1998 Bank Indonesia mengadakan program jaminan pre-shipment kepada eksportir yang sudah memperoleh L/C dari luar negeri untuk memperlancar impor bahan baku yang diperlukan dan untuk pembiayaan ekspor pre-shipment. Sementara itu untuk memperoleh modal kerja kebijaksanaan yang ditetapkan ada kaitannya dengan restrukturisasi dunia perbankan, dunia usaha, dan restrukturisasi pinjaman dunia usaha terhadap perbankan dalam negeri.

MAKALAH MASA REFORMASI

1       Latar Belakang
Krisis finalsial Asia yang terjadi sejak tahun 1997 menyebabkan ekonomi Indonesia melemah. Keadaan memburuk. Adanya sistem monopoli di bidang perdagangan, jasa, dan usaha. Pada masa orde baru, orang-orang dekat dengan pemerintah akan mudah mendapatkan fasilitas dan kesempatan bahkan mampu berbuat apa saja demi keberhasilan usahanya.Terjadi krisis moneter. Krisis tersebut membawa dampak yang luas bagi kehidupan manusia dan bidang usaha. Banyak perusahaan yang ditutup sehimgga terjadi PHK dimana-mana dan menyebabkan amgka pengangguran meningkat tajam serta muncul kemiskinan dimana-mana dan krisis perbankan. KKN semakin merajarela, ketidak adilan dalam bidang hukum, pemerintahan orde baru yang otoriter (tidak demokrasi) dan tertutup, besarnya peranan militer dalam orde baru, adanya 5 paket UU serta memunculkan demonstrasi yang  digerakkan oleh mahsiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “ Pahlawan reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, presiden soeharto berjanji akan mereshuffle cabinet pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, komite reformasi belum bisa terbentuk karenan empat belas menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai dimulainya orde reformasi.
1.2       Permasalahan
1.    Apa pengertian dan tujuan reformasi?
2.    Bagaiman sistematika pelaksanaan UUD 1945 Pada masa Orde Reformasi sampai sekarang?
3.    Bagaimana sistem pemerintahan pada masa orde reformasi?
1.3              Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian dan tujuan reformasi
2.    Memahami pelaksanaan UU 1945 pada masa Orde reformasi
3.    Mengetahui sisitem pemerintahan yang dianut pada masa orde reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1                   Pengertian dan Tujuan Reformasi
Reformasi  merupakan suatu perubahan yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang diwariskan oleh Orde Baru atau merombak segala tatanan politi, ekonomi, social dan budaya yang berbau Orde baru. Atau membangun kembali, menyusun kembali.
Dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat dan agar dapat mewijudkan tujuan dari reformasi tersebut maka B.J.Habibie mengeluarkan beberapa kebijakan, antaranya:
1.    kebijakan dalam bidang politik
reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa orde baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
•    UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik
•    UU No. 3 Tahin 1999 tentang pemilihan umum
•    UU No. 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR
1.    Kebijakan Dalam Bidang Ekonomi
Untuk memperbaiki prekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional ( BPPN ). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No 5 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
1.    Kebebasan Dalam Menyampaikan Pendapat dan Pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari mumculnya partai-partai politik dari berbagaia golongan dan ideology. Masyarakat dapat menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyampaikan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada Pers. Reformasi dalam Pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Ijin Usaha Penerbitan ( SIUP ).
1.    Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan B.J. Habibie berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Dalam pemerintahan B. J. Habibie juga berhasil menyelesaikan masalah Timor Timur . B.J.Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 dibawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste.
Selain dengan adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh B.J. Habibie, perubahan juga dilakukan dengan penyempurnaan pelaksanaan dan perbaikan peraturan-peraturan yan tidakk demokratis, dengan meningkatkan peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu kepada prinsip pemisahan kekuasaan dn tata hubungan yang jelas antara lembaga Eksekutuf, Legislatif dan Yudikatif.
Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain :
1.    Keluarnya ketetapan MPR RI No X / MPR/1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi.
2.    Ketetapan No VII/MPR/ 1998 tentang pencabutan Tap MPR tentang referendum
3.    Tap MPR RI No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bebas dari KKN.
4.    Tap MPR RI No XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden RI.
5.    Amandemen UUD 1945 sudah sampai Amandemen I,II,III,IV.
2.2              Sistematika Pelaksanaan UU 1945 pada Masa Orde Reformasi
Pada masa orde Reformasi demokrasi yang dikembangkan pada dasarnya adalah demokrasi dengan berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi Pancasila pada masa Orde Reformasi dilandasi semangat Reformasi, dimana paham demokrasi berdasar atas kerkyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dilaksanakan dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, selalu memelihara persatuan Indonesia dan untuk mewujudkan suatu keadilan sosila bagi seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan demokasi Pancasila pada masa Reformasi telah banya member ruang gerak kepada parpol dan komponen bangsa lainnya termasuk lembaga permusyawaratan rakyat dan perwakilan rakyat mengawasi dan mengontrol pemerintah secara kritis sehingga dua kepala negara tidak dapat melaksanakan tugasnya sampai akhir masa jabatannya selama 5 tahun karena dianggap menyimpang dari garis Reformasi.
Ciri-ciri umum demokrasi Pancasila Pada Masa Orde Reformasi:
1.    mengutamakan musyawarah mufakat
2.    Mengutamakan kepentingan masyarakat , bangsa dan negara
3.    Tidak memaksakan kehendak pada orang lain
4.    Selalu diliputi oleh semangat kekeluargaan
5.    Adanya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan keputusan hasil musyawarah
6.    Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati yang luhur
7.    Keputusan dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Than Yang Maha Esa, berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
8.    Penegakan kedaulatan rakyar dengan memperdayakan pengawasan sebagai lembaga negara, lembaga politik dan lembaga swadaya masyarakat
9.    Pembagian secara tegas wewenang kekuasaan lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
10.    Penghormatan kepada beragam asas, cirri, aspirasi dan program parpol yang memiliki partai
11.    Adanya kebebasan mendirikan partai sebagai aplikasi dari pelaksanaan hak asasi manusia
Setelah diadakannya amandemen, UUD 1945 mengalami perubahan. Hasil perubahan terhadap UUD 1945 setelah di amandemen :
•    Pembukaan
•    Pasal-pasal: 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal peraturan peralihan dan 2 pasal aturan tambahan.
2.3       Sistem Pemerintahan pada Masa Orde Reformasi
Sistem pemerintahan masa orde reformasi dapat dilihat dari aktivitas kenegaraan sebagai berikut:
1.    Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik lisan atau tulisan sesuai pasal 28 UUd 1945 dapat terwujud dengan dikeluarkannya UU No 2 / 1999 tentang partai politik yang memungkinkan multi partai
2.    Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersuh dan berwibawa serta bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkan ketetapan MPR No IX / MPR / 1998 yang ditindak lanjuti dengan UU no 30/2002 tentang KOMISI pemberantasan tindak pidana korupsi.
3.    Lembaga MPR sudah berani mengambil langkah-langkah politis melaui siding tahunan dengan menuntuk adanya laporan pertanggung jawaban tugas lembaga negara , UUD 1945 di amandemen, pimpinan MPR dan DPR dipisahkan jabatannya, berani memecat presiden dalam sidang istimewanya.
4.    Dengan Amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden paling banyak dua kali masa jabatan, presiden dan wakil presiden dipilih  langsung oleh rakyat mulai dari pemilu 2000 dan yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pertama pilihan langsung rakyat adalah Soesilo Bambang Yodoyono dan Yoesuf Kala, MPR tidak lagi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara yang kedudukannya sama dengan presiden , MA , BPK, kedaulatan rakyat tidak lagi ditangan MPR melainkan menurut UUD.
Di dalam amandemen UUD 1945 ada penegasan tentang sisten pemerintahan presidensial tetap dipertahankan dan bahkan diperkuat. Dengan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.
BAB III
PENUTUP
3.1       Simpulan
Munculnya reformasi disebabkan oleh krisis ekonomi dan politik di Asia, ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Soeharto, dan  adanya para demonstran yang menginginkan diadakannya reformasi total, peristiwa Trisakti yang menyebabkan presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Kemudian untuk menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat tersebut, ada beberapa hal yang di keluarkan yakni;
•    kebijakan dari B.J Habibieyang meliputi:
―     kebijakan dalam bidang politik
―     kebijakan dalam bidang ekonomi
―     kebijakan dalam menyampaikan pendapat dan pers
―     kebijakan pemilihan umum
•    dikeluarkannya ketetapan MPR dan Tap MPR
•    dilaksanakannya Amandemen UUD 1945
setelah dilaksanakannya Amandemen, UUD 1945 mengalami perubahan. Pelaksanaan demokrasi didasari atas nilai-nilai yang terkandumg dalam pancasila. Sistem pemerintahan pada masa orde reformasi mulai diatur dalam UU dan ataupun UUD 1945.
3.2              Saran
Diharapkan kita sebagai generasi bangsa agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila dan merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Menghargai pendapat orang lain serta menyelesaikan masalah secara musyawarah mufakat tanpa adanya kekerasan sehimgga negara kita tetap damai dan tenteram.

Perekonomian Indonesia di Era Reformasi ( makalah )

BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktorfaktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi. Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang menentukan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh ditawar- tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut.
Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indoenesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.

BAB II

PEMBAHASAN
A.    Krisis finansial Asia
Krisis moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan begitu saja.
Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional.
Memasuki tahun anggaran 1998 / 1999, krisis moneter telah mempengaruhi aktivitas ekonomi yang lainnya. Kondisi perekonomian semakin memburuk, karena pada akhir tahun 1997 persedian sembilan bahan pokok sembako di pasaran mulai menipis. Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik tidak terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat. Untuk mengatasi kesulitan moneter, pemerintah meminta bantuan IMF. Namun, kucuran dana dari IMF yang sangat di harapkan oleh pemerintah belum terelisasi, walaupun pada 15 januari 1998 Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF.
Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri.
Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat.
Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang masih rendah.
Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.
Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada bidang ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan yang berasala dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya dengan kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam merebut ruang, halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:
1)      Hutang luar negeri
Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinyakrisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapisangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi.
2)      Industrialisasi
pemerintah Orde Baru ingin menjadikan negara RI sebagai negaraindustri. Keinginan itu tidak sesuai dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia.Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (rata-rata).
3)       Pemerintahan Sentralistik
pemerintahan Orde Baru sangat sentralistik sifatnyasehingga semua kebijakan ditentukan dari Jakarta. Oleh karena itu, peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan pemerintah daerah hanya sebagaikepanjangan tangan pemerintah pusat

B.     Kebijaksanaan Pemerintah Mengatasi Krisis
Krisis ekonomi dengan berbagai dampak negatif sebagaimana telah diuraikan di atas, secara serius telah diupayakan untuk diatasi dengan melaksanakan kebijaksanaan ekonomi baik yang bersifat makro maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijaksanaan ekonomi tersebut memiliki dua sasaran strategis, yaitu pertama, mengurangi dampak negatif dari krisis tersebut terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dan rentan; dan kedua, pemulihan pembangunan ekonomi ke jalur petumbuhan yang tinggi. Kedua tugas tersebut sangat penting antara lain karena:
1.       Meluasnya pengangguran akibat krisis yang terjadi di satu pihak dapat memicu timbulnya kerusuhan sosial, sementara di lain pihak apabila berlangsung lama dapat menurunkan daya saing angkatan kerja, karena mereka tidak mampu lagi menguasai perkembangan ketrampilan baru yang sangat diperlukan.
2.      Kapasitas produksi baik pada industri pengolahan maupun sarana dan prasarana pengangkutan, komunikasi, serta energi yang menganggur tanpa pemeliharaan yang baik akan menjadi rusak.
3.      Meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok dan barang-barang lainnya secara berlanjut, pada gilirannya akan menambah jumlah penduduk miskin karena daya beli mereka akan terus merosot.
4.      Kemunduran dalam pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan terutama bagi putraputri penduduk berpendapatan rendah, akan mengganggu upaya pemberdayaan kelompok penduduk tersebut di masa datang.

1. Kebijaksanaan Ekonomi Makro

Kebijaksanaan ekonomi makro yang telah dilaksanakan pemerintah dalam upaya menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing adalah melalui kebijaksanaan moneter yang ketat disertai anggaran berimbang, dengan membatasi deficit anggaran sampai pada tingkat yang dapat diimbangi dengan tambahan dana dari luar negeri. Kebijaksanaan moneter yang ketat dengan tingkat bunga yang tinggi selain dimaksudkan untuk menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, dengan menahan naiknya permintaan aggregat, juga untuk mendorong masyarakat meningkatkan tabungan di sektor perbankan.
Meskipun demikian pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tingkat bunga tinggi dapat menjadi salah satu faktor terpenting yang akan berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi atau bersifat kontraktif terhadap perkembangan PDB. Oleh karena itu tingkat bunga yang tinggi tidak akan selamanya dipertahankan, tetapi secara bertahap akan diturunkan pada tingkat yang wajar seiring dengan menurunnya laju inflasi.

2. Kebijaksanaan Ekonomi Mikro
Kebijaksanaan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah, ditujukan, antara lain:
a.       untuk mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dikembangkannya jaring pengaman sosial yang meliputi program  penyediaan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan pendidikan dan kesehatan pada tingkat sebelum krisis serta penanganan pengangguran dalam upaya mempertahankan daya beli kelompok masyarakat berpendapatan rendah;
b.      sistem perbankan dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga perbankan;
c.       merestrukturisasi hutang luar negeri;
d.      mereformasi struktural di sektor riil; dan
e.       mendorong ekspor.

a)      Jaring Pengaman Sosial
Dalam kaitan ini berbagai langkah telah dilakukan untuk menambah alokasi anggaran rutin (khususnya untuk subsidi bahan bakar minyak, listrik dan berbagai jenis makanan kebutuhan pokok), mempertajam prioritas alokasi dan meningkatkan efisiensi anggaran pembangunan.
Hal ini dilakukan melalui peninjauan kembali terhadap program dan kegiatan proyek pembangunan, antara lain, dengan:
1.      menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak;
2.      melakukan realokasi dan menyediakan tambahan anggaran untuk bidang pendidikan dan kesehatan;
3.      memperluas penciptaan kerja dan kesempatan kerja bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, yang dikaitkan dengan peningkatan produksi bahan makanan serta perbaikan dan pemeliharaan prasarana ekonomi, misalnya jalan dan irigasi, yang dapat memperlancar kegiatan ekonomi; dan
4.      memperbaiki sistem distribusi agar berfungsi secara penuh dan efisien yang sekaligus meningkatkan partisipasi peranan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi.

Sebagai akibat dari peninjauan kembali seluruh program dan kegiatan proyek pembangunan, total anggaran dalam revisi APBN untuk sektor pertanian, pengairan, perdagangan dan pengembangan usaha, pembangunan daerah, pendidikan, kesehatan, perumahan dan permukiman, dalam tahun anggaran 1998/99 tidak hanya mengalami peningkatan yang cukup besar dibandingkan dengan APBN sebelum revisi, tapi secara riil juga lebih besar dari realisasi anggaran pembangunan tahun 1997/98, sedangkan alokasi anggaran pembangunan untuk sektor lainnya secara riil mengalami penurunan.
Implikasi dari pelaksanaan program jaring pengaman sosial yang disertai langkah
penyesuaian untuk mempertajam prioritas alokasi dan peningkatan efisiensi anggaran
pembangunan, pemerintah tidak dapat menghindari terjadinya defisit yang sangat besar,
lebih kurang 8,5 persen terhadap PDB, dalam revisi APBN 1998/99. Hal ini disebabkan oleh karena penerimaan dalam negeri dalam kondisi kontraksi PDB serta menurunnya harga migas di pasar internasional sangat sulit untuk dapat ditingkatkan, walaupun sudah termasuk adanya divestasi dalam BUMN.
Pemerintah sangat menyadari bahwa defisit APBN sebesar 8,5 persen terhadap PDB tidak sustainable, itulah sebabnya akan diupayakan untuk menurunkannya minimal menjadi setengahnya pada tahun 1999/2000 dan mengembalikan anggaran menjadi berimbang dalam jangka waktu 3 tahun. Sehubungan dengan ini akan terus dikaji langkah-langkah untuk menetapkan pemberian subsidi yang lebih tepat dan pelaksanaan program lain dalam kerangka jaring pengaman sosial. Pemantauan dan evaluasi program penciptaan lapangan kerja serta program di bidang pendidikan dan kesehatan akan terus disempurnakan agar dapat dipastikan bahwa yang memperoleh manfaat terutama adalah penduduk miskin.
Di samping itu peningkatan kinerja penerimaan negara dan manajemen pengeluaran Negara akan merupakan unsur terpenting dalam upaya menekan defisit anggaran. Dalam kaitannya dengan upaya memperkuat manajemen pengeluaran, akan disusun kerangka prioritas dalam pengeluaran negara yang lebih jelas, persiapan penyusunan anggaran yang lebih efisien, kontrol manajemen kas, serta penyusunan laporan yang komprehensif, akurat dan tepat waktu.
Penerimaan negara dari perpajakan diupayakan untuk ditingkatkan dengan menghilangkan berbagai bentuk pengecualian terhadap pengenaan pajak pertambahan nilai; meningkatkan nilai jual objek pajak atas PBB (pajak bumi dan bangunan) sektor perkebunan dan kehutanan serta meningkatkan pendapatan pajak bukan migas melalui peningkatan cakupan audit tahunan, penyempurnaan program audit PPN dan peningkatan penerimaan tunggakan pajak. Sementara itu upaya meningkatkan penerimaan bukan pajak mencakup pengumpulan dana oleh pemerintah di luar anggaran serta meningkatkan kinerja BUMN dengan privatisasi dan peningkatan dalam manajemennya.

b) Penyehatan Sistem Perbankan

Untuk menggerakkan kembali roda perekonomian dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, langkah-langkah mendasar dari kebijakan penyehatan dan restrukturisasi perbankan pada dasarnya terdiri dari dua kebijakan pokok, yaitu:
1.      Kebijakan untuk membangun kembali sistem perbankan yang sehat guna mendukung pemulihan dan kebangkitan perekonomian nasional melalui:
a.       program peningkatan permodalan bank,
b.      penyempurnaan peraturan perundang-undangan, antara lain, mencakup:
i.                    perizinan bank yang semula merupakan wewenang Departemen Kuangan dialihkan kepada Bank Indonesia.
ii.                  investor asing diberikan kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemegang saham bank.
iii.                rahasia bank yang semula mencakup sisi aktiva dan pasiva diubah menjadi hanya mencakup nasabah penyimpan dan simpanannya.
c.       penyempurnaan dan penegakkan ketentuan kehati-hatian, antara lain:
i.                    Bank-bank diwajibkan untuk menyediakan modal minimum (Capital Adequacy Ratio) sebesar 4% pada akhir tahun 1998, 8% pada akhir tahun 1999, dan 10% pada akhir tahun 2000, sebagaimana telah diumumkan pemerintah pada bulan Juni 1998.
ii.                  Melakukan tindakan hukum yang lebih tegas terhadap pemilik dan pengurus bank yang terbukti telah melanggar ketentuan yang berlaku.
2.      Kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan perbankan yang telah terjadi dengan mempercepat pelaksanaan penyehatan perbankan. Langkah-langkah yang telah dan akan ditempuh dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi, membangun kembali sistem perbankan yang sehat, dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, antara lain, meliputi:
a.       Pemberian jaminan pembayaran kepada deposan dan kreditur;
b.      pembentukan Badan Penyehatan. Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas untuk melakukan restrukturisasi bank-bank yang kurang atau tidak sehat;
c.       melakukan due diligence terhadap bank-bank yang diambil alih pengelolaannya dan terhadap bank-bank lainnya; dan
d.      menyusun RUU perbankan yang akan mengatur kembali ketentuan mengenai kerahasian bank, pengawasan, pemilikan investor asing, dan kedudukan BPPN serta bank sentral.
Dengan kebijaksanaan tersebut di atas diharapkan kinerja perbankan nasional menjadi
lebih sehat dan efisien sehingga terpercaya serta mampu menjadi bank yang dikelola
secara profesional terutama dalam menghadapi era globalisasi yang menuntut daya
saing tinggi.

c) Restrukturisasi Hutang Luar Negeri

Hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank-bank yang besar telah menjadi penyebab terpenting terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Hutang-hutang tersebut dalam tahun 1998/1999 akan jatuh tempo dalam jumlah yang besar. Padahal melemahnya nilai tukar rupiah yang terus berlanjut akan semakin memperburuk kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu untuk mengurangi permintaan terhadap mata uang asing dan sekaligus memberi kesempatan kepada para debitur untuk menyelesaikan hutang-hutangnya, dalam kesepakatan Frankfrut tanggal 4 Juni 1998, telah disusun kerangka restrukturisasi hutang dunia usaha, skema penyelesaian hutang antar bank dan pengaturan tentang fasilitas pembiayaan perdagangan.
Dalam kesepakatan tersebut para kreditur dan debitur secara sukarela dapat menyepakati jumlah hutang dan perubahan pinjaman menjadi equity, dan ada persyaratan minimal masa pengembalian 8 tahun termasuk masa tenggang 3 tahun, maka dilihat dari upaya penguatan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, berarti restrukturisasi hutang swasta dan perbankan tersebut minimal dapat mengurangi permintaan valuta asing selama 3 tahun. Untuk mendorong penyelesaian hutang swasta telah diluncurkan Prakarsa Jakarta yang memungkinkan para kreditur dan debitur menyelesaikan hutang piutang di luar pengadilan niaga, yaitu melalui restrukturisasi modal perusahaan.
Restrukturisasi hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank di Indonesia serta penambahan dana luar negeri baik yang berasal dari CGI maupun tambahan dana dari IMF telah dapat meningkatkan sisi penyediaan valuta asing. Sebagai konsekuensi interaksi antara naiknya persediaan dengan turunnya permintaan valuta asing tersebut diharapkan dapat menguatkan nilai tukar rupiah, yang pada gilirannya juga akan menurunkan laju inflasi. Untuk kepentingan itulah dan untuk menarik modal asing masuk ke Indonesia maka pemerintah hingga saat ini masih mempertahankan kebijaksanaan lalulintas devisa dengan sistem devisa bebas.
Sementara itu untuk mengurangi tekanan terhadap keuangan negara dan
neraca pembayaran luar negeri, melalui Paris Club, Indonesia telah melakukan penjadwalan kembali hutang pemerintah untuk tahun 1998/1999 – 1999/2000. Dalam rangka itu pemerintah telah berhasil menunda pembayaran cicilan pokok sebesar US dollar 4,2 miliar.

d) Reformasi Struktural di Sektor Riil

Agar perekonomian, terutama sektor riil dapat berkembang lebih efisien, pemerintah melancarkan berbagai program reformasi struktural. Reformasi struktural di sektor riil mencakup:
a.       penghapusan berbagai praktek monopoli,
b.      deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan dalam dan luar negeri dan bidang investasi, dan
c.       privatisasi BUMN.

Meskipun perekonomian nasional sebelum krisis ekonomi mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi ternyata terdapat kelemahan-kelemahan, antara lain, adanya praktek praktek monopoli di berbagai bidang usaha. Dengan praktek-praktek monopoli telah terjadi konsentrasi kekuatan pasar hanya pada satu atau beberapa pelaku usaha, sehingga kegiatan produksi, distribusi menjadi tidak efisien dan secara lebih luas daya saing perekonomian nasional menjadi lemah.
Kebijaksanaan penghapusan monopoli yang telah dan akan dilakukan, antara lain adalah: penghapusan monopoli yang dilakukan oleh Bulog dalam mengimpor dan penyaluran barang-barang kebutuhan pokok masyarakat seperti minyak goreng, gula pasir, terigu, dan jagung, sehingga Bulog hanya akan menyalurkan beras; penghapusan BPPC; penghapusan kegiatan usaha yang terintegrasi secara vertikal atau horizontal, monopoli produksi minyak pelumas oleh Pertamina dan lain-lain. Dalam upaya menghapus monopoli tersebut pemerintah telah mengajukan ke DPR RUU tentang persaingan yang sehat. Dengan adanya penghapusan monopoli diharapkan ekonomi biaya tinggi bisa dihindarkan sehingga bisa meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
Dengan hapusnya monopoli, masyarakat juga diuntungkan sebab akan memperoleh
barang dengan kualitas yang lebih baik dengan harga yang lebih murah. Dalam kaitannya dengan deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, antara lain, mencakup:
a.       mencabut peraturan yang membatasi kepemilikan investor asing sampai 49 persen dari perusahaan-perusahaan yang telah terdaftar pada pasar modal;
b.      merevisi daftar negatif investasi dengan pengurangan jumlah bidang usaha yang tertutup bagi investor asing;
c.       mencabut pembatasan investasi asing dalam perkebunan kelapa sawit, dalam perdagangan eceran dan dalam perdagangan besar;
d.      mencabut ketentuan tataniaga yang bersifat restriktif untuk pemasaran semen, kertas dan kayu lapis;
e.       menghapus harga patokan semen (HPS); dan
f.       menerapkan perdagangan bebas lintas batas Dati I dan Dati II untuk semua komoditas termasuk cengkeh, kacang mete dan vanili dan mencabut kuota yang membatasi penjualan ternak.
g.      e) Promosi Ekspor

Dalam situasi permintaan dalam negeri yang menurun, maka wahana untuk memulihkan kembali perekonomian Indonesia adalah melalui promosi ekspor. Tambahan pula dengan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi tinggi dewasa ini, Indonesia makin memiliki daya saing dalam barang ekspor yang padat karya dan padat kekayaan alam. Namun peningkatan ekspor dewasa ini dihadapkan kepada beberapa kendala, yakni keengganan pihak luar negeri membeli barang Indonesia, ketiadaan bahan baku, serta hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ekspor, seperti misalnya operasi pelabuhan, kecepatan kerja, bea dan cukai, dan administrasi perpajakan.
Keengganan pembeli luar negeri untuk merencanakan pembelian terhadap produk industry manufaktur Indonesia, antara lain, disebabkan oleh kekhawatiran mereka atas
ketidakmampuan para pengusaha Indonesia untuk dapat memenuhi pesanan tersebut tepat waktu. Hal ini erat kaitannya dengan permasalahan sosial politik yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Dengan demikian dalam upaya untuk mendorong ekspor, upaya terwujudnya stabilitas sosial politik sangatlah penting.
Kesepakatan Frankfurt akan berdampak positif bagi penyediaan bahan baku impor yang dibutuhkan untuk memperlancar kegiatan produksi yang berorientasi ekspor. Selain itu mulai bulan Juli 1998 Bank Indonesia mengadakan program jaminan pre-shipment kepada eksportir yang sudah memperoleh L/C dari luar negeri untuk memperlancar impor bahan baku yang diperlukan dan untuk pembiayaan ekspor pre-shipment. Sementara itu untuk memperoleh modal kerja kebijaksanaan yang ditetapkan ada kaitannya dengan restrukturisasi dunia perbankan, dunia usaha, dan restrukturisasi pinjaman dunia usaha terhadap perbankan dalam negeri.

Bab I

PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG

Pada jaman sekarang ini indonesia dikatakan masuk era reformasi. Reformasi adalah masa setelah berlalunya era orde baru. Awal reformasi adalah ketika presiden BJ Habibie menjabat sebagai presiden negara RI.

Karena kini kita berada di era reformasi, maka kita harus tahu seperti apa reformasi yang terjadi di indonesia ini agar kita tidak salah dalam melakukan suatu tindakan. Maka untuk seperti apa reformasi di Indonesia, kami akan bahas masalah reformasi tersebut secara garis besarnya saja dalam makalah ini yang merupakan tugas dari guru sejarah kami.

B.    RUMUSAN MASALAH

1.    Bagaimana proses berakhirnya orde baru?
2.    Bagaimana perkembangan politik dan ekonomi pada masa reformasi?
3.    Bagaimana perkembangan politik setelah 21 mei 1998?
4.    Bagaimana kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sejak reformasi?

C.    TUJUAN

Tujuan kami dalam penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan kepada para pembaca tentang reformasi yang terjadi di indonesia. Dan juga untuk menyelesaikan tugas yeng diberikan oleh guru sejarah kami.
!more

BAB II
PEMBAHASAN

A. BERAKHIRNYA PEMERINTAHAN ORDE BARU
Keberhasilan Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di tambah dengan meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Namun, keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan pembangunan mental ( character building ) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan maupun pelaku ekonomi (pengusaha / konglomerat). Kalimaksnya, pada pertengahan tahun 1997, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi budaya (bagi penguasa, aparat dan penguasa)
1. Munculnya Reformasi
Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde Baru pada awal kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Setelah Orde Baru memegang tumpuk kekuasaan dalam mengendalikan pemerintahan, muncul suatu keinginan untuk terus menerus mempertahankan kekuasaannya atau status quo. Hal ini menimbulkan akses-akses nagatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Akhirnya penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.

2. Krisi Politik
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jore (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidak percayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.
Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya :
•    UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
•    UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR / MPR
•    UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
•    UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
•    UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah menimbulkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar. Monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi, tidak mempu menghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Kondisi dan situasi Politik di tanah air semakin memanas setelah terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa ini muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, bukan hanya menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi masyarakat menuntut adanya reformasi baik didalam kehidupan masyarakat, maupun pemerintahan Indonesia. Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah pada pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat pada perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, masyarakat juga menuntut agar di tetapkan tentang pembatasan masa jabatan Presiden.

Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun 1997 telah memicu munculnya kerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan etnik yang berbeda. Menjelang akhir kampanye pemilihan umum tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban jiwa.
Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar secara mutlak. Golkar yang meraih kemenangan mutlak memberi dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003. Sedangkan di kalangan masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat untuk menolak kembali pencalonan Soeharto sebagai Presiden.
Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul tekanan pada kepemimpinan Presiden Soeharto yang dating dari para mahasiswa dan kalangan intelektual.

3. Krisi Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya.

4. Krisi Ekonomi
Krisi moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan begitu saja.
Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional.

Memasuki tahun anggaran 1998 / 1999, krisis moneter telah mempengaruhi aktivitas ekonomi yang lainnya. Kondisi perekonomian semakin memburuk, karena pada akhir tahun 1997 persedian sembilan bahan pokok sembako di pasaran mulai menipis. Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik tidak terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat. Untuk mengatasi kesulitan moneter, pemerintah meminta bantuan IMF. Namun, kucuran dana dari IMF yang sangat di harapkan oleh pemerintah belum terelisasi, walaupun pada 15 januari 1998 Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF.
Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri.
Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat.
Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang masih rendah.
Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.
Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada bidang ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan yang berasala dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya dengan kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam merebut ruang, halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah.

5. Krisi Kepercayaan
Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi para mahasiswa terjadi tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.
Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus dan masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat.
Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan para pimpinan DPR / MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet, segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden.
Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana Negara.

B. PERKEMBANGAN POLITIK DAN EKONOMI PADA MASA REFORMASI
1. Munculnya Gerakan Reformasi
Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatanan perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju ke arah perbaikan. Gerakan reformasi, pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan, terutama perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum.
Buah perjuangan dari reformasi itu tidak dapat dipetik dalam waktu yang singkat, namun membutuhkan proses dan waktu. Masalah yang sangat mendesak, adalah upaya untuk mengatasi kesulitan masyarakat banyak tentang masalah kebutuhan pokok (sembako) dengan harga yang terjangkau oleh rakyat.
Sementara itu, melihat situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin tidak terkendali, rakyat menjadi semakin kritis menyatakan pemerintah Orde Baru tidak berhasil menciptakan kehidupan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera. Oleh karena itu, munculnya gerakan reformasi bertujuan untuk memperbaharui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Beberapa agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa anatara lain sebagai berikut :
•    Adili Soeharto dan kroni-kroninya.
•    Amandemen UUD 1945
•    Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
•    Otonomi daerah yang seluas-luasnya
•    Supremasi hukum
•    Pemerintahan yang berisi dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
2. Kronologi Reformasi
Pada awal bulan Maret 1998 melalui Sidang Umum MPR, Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden Republik Indonesia, serta melaksanakan pelantikan Kabinet Pembangunan VII. Namun pada saat itu semakin tidak kunjung membaik. Perekonomian mengalami kemerosotan dan masalah sosial semakin menumpuk. Kondisi dan siutasi seperti ini mengundang keprihatinan rakyat.
Mamasuki bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demostrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunya Soeharto dari kursi kepresidenannya.
Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti, terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan tertembaknya empat mahasiswa hingga tewas.
Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki Gedung DPR/MPR. Pada tanggal itu pula di Yogyakarta terjadi peristiwa bersejarah. Kurang lebih sejuta umat manusia berkumpul di alun-alun utara kraton Yogyakarta untuk mndengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Bowono X dan Sri Paku Alam VII. Inti isi dari maklumat itu adalah menganjurkan kepada seluruh masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk dimintai pertimbangannya membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Soeharto, namun mengalami kegagalan.
Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharti meletakkan jabatannya sebagai presiden di hadapan ketua dan beberapa anggota dari Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie untuk menggantikannya menjadi presiden, serta pelantikannya dilakukan didepan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat itu, Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang ke-3.

C. PERKEMBANGAN POLITIK SETELAH 21 MEI 1998
1. Pengangkatan Habibie Menjadi Presiden Republik Indonesia
Setelah B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Tugas Habibie menjadi Presiden menggantikan Presiden Soeharto sangatlah berat yaitu berusaha untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Habibie yang manjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang serba parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk dapat mengatasi krisis ekonomi dan politik. Untuk menjalankan pemerintahan, Presiden Habibie tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri tanpa dibantu oleh menteri-menteri dari kabinetnya.
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI.
Dalam bidang ekonomi, pemerintahan Habibie berusaha keras untuk melakukan perbaikan. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk meperbaiki perekonomian Indonesia antaranya :
•    Merekapitulasi perbankan
•    Merekonstruksi perekonomian Indonesia.
•    Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
•    Manaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp.10.000,-
•    Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.

Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi mangupayakan pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan serta merencanakan pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum yang telah bersifat demokratis. Habibie juga membebaskan beberapa narapidana politik yang ditahan pada zaman pemerintahan Soeharto. Kemudian, Presiden Habibie juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independent.

2. Kebebasan Menyampaikan Pendapat
Pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demontrasi. Namun khusus demontrasi, setiap organisasi atau lembaga yang ingin melakukan demontrasi hendaknya mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demontrasi tersebut. Hal ini dilakukan karena pihak kepolisian mengacu kepada UU No.28 tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Namun, ketika menghadapi para pengunjuk rasa, pihak kepolisian sering menggunakan pasal yang berbeda-beda. Pelaku unjuk rasa yang di tindak dengan pasal yang berbeda-beda dapat dimaklumi karena untuk menangani penunjuk rasa belum ada aturan hukum jelas.
Untuk menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa, pemerintahan bersama (DPR) berhasil merampungkan perundang-undangan yang mengatur tentang unjuk rasa atau demonstrasi. adalah UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Adanya undang – undang tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memulai pelaksanaan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Namun sayangnya, undang-undang itu belum memasyarakat atau belum disosialisasikan dalam kehidupan masarakat. Penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa suatu tuntutan, dan koreksi tentang suatu hal.

3. Masalah Dwifungsi ABRI
Menanggapi munculnya gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI menyusul turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, ABRI melakukan langkah-langkah pembaharuan dalam perannya di bidang sosial-politik.
Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai dikurangi secara bertahap yaitu dari 75 orang menjadi 38 orang. Langkah lain yang di tempuh adalah ABRI semula terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara serta Kepolisian RI, namun mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti nama menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

4. Reformasi Bidang Hukum
Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum Reformasi hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Habibie untuk mereformasi hukum mendapatkan sambutan baik dari berbagai kalangan masyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada tatanan hukum yang ditambakan oleh masyarakat.
Ketika dilakukan pembongkaran terhadapat berbagai produksi hukum atau undang-undang yang dibuat pada masa Orde Baru, maka tampak dengan jelas adanya karakter hukum yang mengebiri hak-hak.
Selama pemerintahan Orde Baru, karakter hukum cenderung bersifat konservatif, ortodoks maupun elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih tertutup terhadap kelompok-kelompok sosial maupun individu didalam masyarakat. Pada hukum yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat sangatlah kecil, bahkan bias dikatakan tidak ada sama sekali.
Oleh karena itu, produk hukum dari masa pemerintahan Orde Baru sangat tidak mungkin untuk dapat menjamin atau memberikan perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM), berkembangnya demokrasi serta munculnya kreativitas masyarakat.

5. Sidang Istimewa MPR
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah dua kali lembaga tertinggi Negara melaksanakan Sidang Istimewa, yaitu pada tahun 1967 digelar Sidang Istimewa MPRS yang kemudian memberhentikan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto menjadi Presiden Rebuplik Indonesia. Kemudian Sidang Istimewa yang dilaksanakan antara tanggal 10 – 13 Nopember 1998 diharapkan MPR benar-benar menyurahkan aspirasi masyarakat dengan perdebatan yang lebih segar, lebih terbuka dan dapat menampung, aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat. Hasil dari Sidang Istimewa MPR itu memutuskan 12 Ketetapan.

6. Pemilihan Umum Tahun 1999
Pemilihan Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena pemilihan umum tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia yang sedang dilanda multikrisis. Pemilihan umum tahun 1999 juga merupakan ajang pesta rakyat Indonesia dalam menunjukkan kehidupan berdemokrasi. Maka sifat dari pemilihan umum itu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Presiden Habibie kemudian menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaan pemiliahan umum tersebut. Selanjutnya lima paket undang-undang tentang politik dicabut. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru. Ketiga udang-undang itu disahkan pada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga udang-udang itu antara lain undang-undang partai politik, pemilihan umum, susunan serta kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Munculnya undang-undang politik yang baru memberikan semangat untuk berkembangnya kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya undang-undang politik itu partai-partai politik bermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112 partai politik telah berdiri di Indonesia pada masa itu. Namun dari sekian banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti pemilihan umum. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai politik diberlakukan dengan cukup ketat.
Pelaksanaan pemilihan umum ditangani oleh sebuah lembaga yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Anggota KPU terdiri dari wakil-wakil dari pemerintah dan wakil-wakil dari partai-partai politik peserta pemilihan umum.
Banyak pengamat menyatakan bahwa pemilihan umum tahun 1999 akan terjadi kerusuhan, namun pada kenyataannya pemilihan umum berjalan dengan lancar dan aman. Setelah penghitungan suara berhasil diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasilnya lima besar partai yang berhasil meraih suara-suara terbanyak di anataranya PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan pembangunan, Partai Pembangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional. Hasil pemilihan umum tahun 1999 hingga saat terakhir pengumuman hasil perolehan suara dari partai-partai politik berjalan dengan aman dan dapat di terima oleh suara partai peserta pemilihan umum.

7. Sidang Umum MPR Hasil Pemilihan Umum 1999
Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR, maka MPR segera melaksanakan sidang. Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1 – 21 Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu Amien Rais dikukuhkan menjadi Ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi Ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia.
Akibatnya memunculkan tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR pada tahap pencalonan Presiden diantaranya Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza Mahendra. Namun tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh karena itu, tinggal dua calon Presiden yang maju dalam pemilihan itu, Abdurrahaman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dari hasil pemilihan presiden yang dilaksanakan secara voting, Abudurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia tidak sampai pada akhir masa jabatanya. Akibat munculya ketidakpercayaan parlemen pada Presiden Abdurrahman Wahid, maka kekuasaan Abdurrahman Wahid berakhir pada tahun 2001. DPR/MPR kemudian memilih dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia. Masa kekuasaan Megawati berakhir pada tahun 2004.
Pemilihan Umum tahun 2004 merupakan momen yang sangat penting dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia. Untuk pertama kalinya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat Indonesia. Pada pemilihan umum ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009.

D. KONDISI SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT SEJAK REFORMASI

1. Kondisi Sosial Masyarakat Sejak Reformasi
Sejak krisis moneter yang melan da pada pertengahan tahgun 1997, perusahaan perusahaan swasta mengalami kerugaian yang tidak sedikit, bahkan pihak perusahaan mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya untuk membayar gaji dan upah pekerjanya.
Keadaan seperti ini menjadi masalah yang cukup berat karena disatu sisi perusahaan mengalami kerugaian yang cukup besar dan disisi lain para pekerja menuntut kenaikan gaji. Tuntutan para pekerja untuk menaikkan gaji sangat sulit dipenuhi oleh pihak perusahaan, akhirnya banyak perusahaan yang mengambil tindakan untuk mengurangi tenaga kerja dan terjadilah PHK.
Para pekerja yang deberhentikan itu menambah jumlah pengangguran, sehingga jumlah pengangguran diperkirakan mencapai 40 juta orang. Pengangguran dalam jumlah yang sangat besar ini akan menimbulkan terjadinya masalah masalah social dalam kehidupan masyarakat. Dampak susulan dari pengangguran adalah makin maraknya tindakan tindakan criminal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu hendaknya pemerintah dengan serius menangani masalah pengangguran dengan membuka lapangan kerja yang dapat menampung para penganggur tersebut. Langkah berikutnya, pemerintah hendaknya dapat menarik kembali para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga dapat membuka lapangan kerja baru untuk menampung para penganggur tersebut. Masalah pengangguran merupakan masalah social dalam kehidupan masyarakat dan sangat peka terhadap segala bentuk pengaruh.

2. Kondisi Ekonomi Masyarakat Indonesia
Sejak berlangsungnya krisis moneter pertengahan tahun 1997, ekonomi Indonesia mulai mengalami keterpurukan. Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan rakyat makin menurun. Pengangguran juga semakin luas. Sebagai akibatnya, petumbuhan ekonomi menjadi sangat terbatas dan pendapatan perkapita cenderung memburuk sejak krisis tahun 1997.
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat, pemerintah melihat lima sector kebijakan yang harus digarap, yaitu :
•    perluasan lapangan kerja secara terus menrus melalui investasi dalam dan luar negeri se efisien mungkin.
•    Penyediaan barang kebutuhan pokok sehari hari untuk memenuhi permintaan pada harga yang terjangkau.
•    Penyediaan failitas umum seperti rumah, air minum, listrik, bahan baker, komunikasi, angkutan dengan harga terjangkau.
•    Penyediaan ruang sekolah, guru dan buku buku untuk pendidikan umum dengan harga terjangkau.
•    Penyediaan klinik, dokter dan obat onbatan untuk kesehatan umum dengan harga yang terjangkau pula.
Disamping penanganan masalah pengangguran,dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat, pemerintah hendaknya juga memperhatikan harga harga produk pertanian Indonesia, karena selama masa pemerintahan Orde Baru maupun sejak krisis 1997 tidak pernah berpihak kepada petani. Apabila pendapatan petani meningkat, maka permintaan petani terhadap barang barang non pertanian juga meningkat. Dengan ditetapkannya harga produk pertanian yang tidak merugikan petani, maka para petani yang mampu membeli produk industri non pertanian akan memberi semangat bangkitnya para pengusaha untuk mengembangkan kegiatan perusahaannya.
Pihak pemerintah telah berusaha untuk membawa Indonesia keluar dari krisis. Tetapi tidak mungkin dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, pemerintah membuat skala prioritas yang artinya hal mana yang hendaknya dilakukan agar Indonesia keluar dari krisis.
Terpilihnya presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarno Putri yang naik menggantikan Gus Dur bertugas untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat dengan meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat. Namun dengan kondisi perekonomian Negara yang ditinggalkan oleh pemerintahan Soeharto, tidak mungkin dapat diatasi oleh seorang Presiden dalam waktu singkat. Oleh sebab itu untuk mengatasi krisis, presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia, memerlukan penyelesaian secara bertahap berdasarkan skala prioritas.

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatanan perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju ke arah perbaikan. Gerakan reformasi, pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan, terutama perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum.

B.    SARAN

Saran dari penulis untuk para pembaca sekalian yaitu kita harus pandai pandai mengikuti perkembangan jaman di negara kita sendiri agar kita bisa hidup dengan makmur dan tidak ketiggalan jaman dengan negara-negara lain

Suatu ilmu ekonomi yang membahas proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatunegara perkembangan ekonomi mengcu pada masalah negara \terbelakang, sdang pertumbuhan mengacu pada masalah negara maju.menurut schumpter perkembangan adalah perubahan spontan dan terputus – putus dalam keadaan stasioner yang senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya. Sedangkan pertumbuhan adalah perubahan jangka panjamg secara perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN

KATA PENGANTAR

Puji sykur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatnya lah sehingga makalah kami yaitu KEMISKINAN DAN KESENJANGAN EKONOMI dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Guna memenuhi salah satu peryaratan dalam proses pembelajaran kuliah.

Tak lupa pula kami mengucapkan terimakasih atas dosen yang mengajarkan kami mata kuliah PENGANTAR EKONOMI PEMBANGUNAN.
Kami penulis menyadari bahwa makalah ini belum mencapai kesempurnaan, maka dari itu kami sebagai pnulis memohon maaf atas kekurangan dalam penyajian terhadap data data dalam makalah kami
Semoga  makalah kami yang sangat jauh dari kesempurnaan ini, baik dalam penyajian ataupun dalam penulisannya oleh karena itu kami daripenulis mengharapkan kritik dan sarandari bebagai pihak guna bersifat membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembacanya dan dapat menambah waasan bagi kita semua.
Amiiin. . .

Makassar,         november2012

Penulis
DATAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
B.    PERASALAHAN
BAB II. KEMISKINAN DAN KESENJANGAN  EKONOMI
I. KEMISKINAN
I. A. Pandangan tentang kemiskinan
I.B. Pengertian Kemiskinan
I.BI. Budaya Kemiskinan
I.B2. Ciriciri Kebudyaan Kemiskinan
I.C. FormulasiKebudayaanKemiskinan
I.D . Kemiskinan Struktural
I.DI. Golongan kaum miskin
I.D2. Beberapacirikemiskinanstruktural
I.D3. Contoh kemiskinan struktural
2. KESENJANGAN
2.A. Faktor-faktor Kesenjangan Sosial
2.B. Masalah Kesenjangan Sosial

BAB III. PERTUMBUHAN, KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
A.Hubungan antara Pertumbuhan dan Kesenjangan
B.Hubungan antara Pertumbuhan dan Kemiskinan
C. Temuan Empiris
C.1  Distribusi Pendapatan
C.2.Dengan menggunakan kurva Lorenz
BAB IV. KEBIJAKAN ANTI-KEMISKINAN STRATEGI DAN INTERVENSI
A.    Intervensi jangka menengah dan panjang
BAB V. BEBERAPA INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
A. Indikator Kesenjangan
B.    Indikator Kemiskinan
B.1. Pendekatan Head Count Index
BAB VI. KEMISKINAN DAN KESENJANGAN SOSIAL DI INDONESIA PRA DAN PASCA RUNTUHNYA ORDE BARU
A.    Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan Sosial
BAB VII. NEGARA NEGAR TERMISKIN DI DUNIA
1.    Republik kongo
2.    Brundi
3.    Liberia
4.    Somalia
5.    Guinea-Bissau
6.    Nigeria
7.    Eritres
8.    Republik Afrika Tengah
9.    Afganistan
10.    Mozambik
BAB VIII. DAFTAR SERATUS NEGARA TERMISKIN DI DUNIA, INDONESIA MASUK DALAM DAFTAR KE-68
BAB IX. PENUTUP
A.    KESIMPULAN
BAB X. DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
Pandangan kemiskinan dari setiap ahli berbeda karena data, dan metode penelitian yang berbeda. Kemiskinan disepakati sebagai masalah yang bersifat sosial ekonomi, penyebab dan cara mengatasinya terkait dengan ideologi yang melandasinya. Untuk memahami ideologi tersebut ada tiga pandangan pemikiran yaitu konservatisme, liberalisme, dan radikalisme (Swasono, 1987). Penganut masing-masing pandangan memiliki cara pandang yang berbeda dalam menjelaskan kemiskinan. Kaum konservatif memandang kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras , boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat untuk berpartisipasi.
Semenjak gejolak dan kerusuhan sosial merebak di berbagai daerah, kesenjangan sosial banyak dibicarakan. Beberapa pakar dan pengamat masalah sosial menduga bahwa kerusuhan sosial berkaitan dengan kesenjangan sosial. Ada yang sependapat dengan dugaan itu, tetapi ada yang belum yakin bahwa penyebab kerusuhan sosial adalah kesenjangan sosial. Tidak seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial cukup sulit diukur secara kuantitatif. Jadi, sulit menunjukkan bukti-bukti secara akurat. Namun, tidaklah berarti kesenjangan sosial dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak eksis dalam perjalanan pembangunan selama ini. Di bagian ini dicoba menunjukkan realitas dan proses merebaknya gejala kesenjangan sosial.

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Semenjak gejolak dan kerusuhan sosial merebak di berbagai daerah, kesenjangan sosial banyak dibicarakan. Beberapa pakar dan pengamat masalah sosial menduga bahwa kerusuhan sosial berkaitan dengan kesenjangan sosial. Ada yang sependapat dengan dugaan itu, tetapi ada yang belum yakin bahwa penyebab kerusuhan sosial adalah kesenjangan sosial. Tidak seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial cukup sulit diukur secara kuantitatif. Jadi, sulit menunjukkan bukti-bukti secara akurat. Namun, tidaklah berarti kesenjangan sosial dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak eksis dalam perjalanan pembangunan selama ini. Di bagian ini dicoba menunjukkan realitas dan proses merebaknya gejala kesenjangan sosial.
Untuk mempermudah pembahasan, kesenjangan sosial diartikan sebagai kesenjangan (ketimpangan) atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang berusaha dan kerja, dapat berupa kebutuhan sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana perjuangan hak azasi, sarana saluran politik, pemenuhan pengembangan karir, dan lain-lain.
Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan yang tersedia. Secara teoritis sekurang kurangnya ada dua faktor yang dapat menghambat. Pertama, faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal). Rendahnya kualitas sumberdaya manusia karena tingkat pendidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul sebagai akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai luas, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupan masa depan. Dalam penjelasan Lewis (1969), kesenjangan sosial tipe ini muncul karena masyarakat itu terkungkung dalam kebudayaan kemiskinan.
Kedua, faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang. Hal ini dapat terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan), sehingga dapat membatasi atau memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia. Dengan kata lain, kesenjangan sosial bukan terjadi karena seseorang malas bekerja atau tidak mempunyai kemampuan sebagai akibat keterbatasan atau rendahnya kualitas sumberdaya manusia, tetapi karena ada hambatan-hambatan atau tekanan¬-tekanan struktural. Kesenjangan sosial ini merupakan salah satu penyebab munculnya kemiskinan structural. Alfian, Melly G. Tan dan Selo Sumarjan (1980:5) mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasilitas pemukiman, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikatif, kekurangan fasilitas untuk mengembangkan usaha dan mendapatkan peluang kerja dan kekurangan perlindungan hukum.
Faktor mana yang paling dominan menyebabkan kesenjangan sosial. Kendati faktor internal dan kebudayaan (kebudayaan kemiskinan) mempunyai andil sebagai penyebab kesenjangan sosial, tetapi tidak sepenuhnya menentukan. Penjelasan itu setidaknya mengandung dua kelemahan. Pertama, sangat normatif dan mengundang kecurigaan dan prasangka buruk pada orang miskin serta mengesampingkan norma-norma yang ada (Baker, 1980:6). Kedua, penjelasan itu cenderung membesar-besarkan kemapanan kemiskinan. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa kaum miskin senantiasa bekerja keras, mempunyai aspirasi tentang kehidupan yang baik dan mempunyai motivasi untuk memperbaiki kehidupan mereka. Mereka mampu menciptakan pemenuhan tutuntan kehidupan mereka (periksa misalnya kajian Bromley dan Chris Gerry, 1979; Papanek dan Kuncoroyakti, 1986; dan Pernia, 1994). Setiap saat orang miskin berusaha memperbaiki kehidupan dengan cara bersalin dan satu usaha ke usaha lain dan tidak mengenal putus asa (Sethuraman, 1981; Steele, 1985).
Jika demikian halnya, maka ihwal kesenjangan sosial tidak semata-mata karena faktor internal dan kebudayaan, tetapi lebih disebabkan oleh adanya hambatan structural yang membatasi serta tidak memberikan peluang untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia. Breman (1985:166) menggambarkan bahwa bagi yang miskin “jalan ke atas sering kali dirintangi”, sedangkan: “jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui”. Dengan kata lain, gejala kesenjangan sosial dan kemampuan kemiskinan lebih disebabkan adanya himpitan structural. Perlu dipertanyakan mengapa masyarakat dan kaum miskin pasrah dengan keadaan itu? Ketidakberdayaan (politik) dan kemiskinan kronis menyebabkan mereka mudah ditaklukkan dan dituntun untuk mengikuti kepentingan dan kemauan elit penguasa dan pengusaha. Apalagi tatanan politik dan ekonomi dikuasai oleh elit penguasa dan pengusaha.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang muncul adalah antara lain sebagai berikut :
“Apakah kebijakan pembangunan telah menciptakan kemiskinan dan kesenjangan social di Indonesia pra dan pasca runtuhnya Orde Baru

BAB II
KEMISKINAN DAN KESENJANGAN  EKONOMI

I. KEMISKINAN
Pandangan kemiskinan dari setiap ahli berbeda karena data, dan metode penelitian yang berbeda. Kemiskinan disepakati sebagai masalah yang bersifat sosial ekonomi, penyebab dan cara mengatasinya terkait dengan ideologi yang melandasinya. Untuk memahami ideologi tersebut ada tiga pandangan pemikiran yaitu konservatisme, liberalisme, dan radikalisme (Swasono, 1987). Penganut masing-masing pandangan memiliki cara pandang yang berbeda dalam menjelaskan kemiskinan. Kaum konservatif memandang kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras , boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat untuk berpartisipasi.
Semenjak gejolak dan kerusuhan sosial merebak di berbagai daerah, kesenjangan sosial banyak dibicarakan. Beberapa pakar dan pengamat masalah sosial menduga bahwa kerusuhan sosial berkaitan dengan kesenjangan sosial. Ada yang sependapat dengan dugaan itu, tetapi ada yang belum yakin bahwa penyebab kerusuhan sosial adalah kesenjangan sosial. Tidak seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial cukup sulit diukur secara kuantitatif. Jadi, sulit menunjukkan bukti-bukti secara akurat. Namun, tidaklah berarti kesenjangan sosial dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak eksis dalam perjalanan pembangunan selama ini. Di bagian ini dicoba menunjukkan realitas dan proses merebaknya gejala kesenjangan sosial

I.A. Pandangan tentang kemiskinan
Perbedaan p andangan dari setiap ahli tentang kemiskinan merupakan hal yang wajar. Hal ini karena data, dan metode penelitian yang berbeda , tetapi justru terletak pada latar belakang idiologisnya. Menurut Weber (Swasono , 1987), ideology bukan saja menentukan macam masalah yang dianggap penting, tetapi juga mempengaruhi cara mendefenisikan masalah sosial ekonomis, dan bagaimana masalah sosial ekonomi itu diatasi. Kemiskinan disepakati sebagai masalah yang bersifat sosial ekonomi, tetapi penyebab dan cara mengatasinya terkait dengan ideologi yang melandasinya. Untuk memahami ideologi tersebut ada tiga pandangan pemikiran yaitu  konservatisme, liberalisme, dan radikalisme (Swasono, 1987). Penganut masing-masing pandangan memiliki cara pandang yang berbeda dalam menjelaskan kemiskinan. Kaum  konservatif memandang kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras , boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat untuk Menurut Oscar Lewis (1983), orang-orang miskin adalah kelompok yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup karakteristik psikologis sosial, dan ekonomi. Kaum liberal memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Budaya kemiskinan hanyalah semacam  realistic and situational adaptation  pada linkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit. Kaum radikal mengabaikan budaya kemiskinan, mereka menekankan  peranan struktur ekonomi, politik dan sosial, dan  memandang bahwa manusia adalah makhluk yang kooperatif, produktif dan kreatif.
Philips dan Legates (1981) mengemukakan empat pandangan tentang kemiskinan, yaitu pertama, kemiskinan dilihat sebagai akibat dari kegagalan personal dan sikap tertentu khususnya ciri-ciri sosial psikologis individu dari si miskin yang cendrung menghambat untuk melakukan perbaikan nasibnya. Akibatnya, si miskin tidak melakukan rencana ke depan,  menabung dan mengejar tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, kemiskinan dipandang sebagai akibat dari sub budaya tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kaum miskin adalah kelompok masyarakat yang memiliki subkultur tertentu yang berbeda dari golongan yang tidak miskin, seperti memiliki sikap fatalis, tidak mampu melakukan pengendalian diri, berorientasi pada masa sekarang, tidak mampu  menunda kenikmatan atau melakukan rencana bagi masa mendatang, kurang memiliki kesadaran kelas, atau gagal dalam melihat faktor-faktor ekonomi seperti kesempatan yang dapat mengubah nasibnya. Ketiga, kemiskinan dipandang sebagai akibat kurangnya kesempatan, kaum miskin selalu kekurangan dalam bidang keterampilan dan pendidikan untuk memperoleh pekerjaan dalam masyarakat. Keempat, bahwa kemiskinan merupakan suatu ciri struktural dari kapitalisme, bahwa dalam masyarakat kapitalis segelintir orang menjadi miskin karena yang lain menjadi kaya. Jika dikaitkan dengan pandangan konservatisme, liberalisme dan radikalisme, maka poin pertama dan kedua tersebut mencerminkan pandangan konservatif, yang cendrung mempersalahkan kemiskinan bersumber dari dalam diri si miskin itu sendiri. Ketiga lebih mencerminkan aliran liberalisme, yang cendrung menyalahkan ketidakmapuan struktur kelembagaan yang ada. Keempat dipengaruhi oleh pandangan radikalis yang mempersalahkan hakekat atau prilaku negara kapitalis.
Masing-masing pandangan tersebut bukan hanya berbeda dalam konsep kemiskinan saja, tetapi juga dalam implikasi kebijakan untuk menanggulanginya. Keban (1994) menjelaskan bahwa pandangan konservatif cendrung melihat bahwa program-program pemerintah yang dirancang untuk mengubah sikap mental si miskin merupakan usaha yang sia-sia karena akan memancing manipulasi kenaikan jumlah kaum miskin yang ingin menikmati program pelayanan pemerintah. Pemerintah juga dilihat sebagai pihak yang justru merangsang timbulnya kemiskinan. Aliran liberal yang melihat si miskin sebagai pihak yang mengalami kekurangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, pekerjaan dan perumahan yang layak, cendrung merasa optimis tentang kaum miskin dan menganggap mereka sebagai sumber daya yang dapat berkembang seperti halnya orang-orang kaya. Bantuan program pemerintah dipandang sangat bermanfaat dan perlu direalisasikan. Pandangan radikal memandang bahwa kemiskinan disebabkan struktur kelembagaan seperti ekonomi dan politiknya, maka kebijakan yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan ekonomi dan politik secara radikal.
Menurut Flanagan (1994), ada dua pandangan yang berbeda tentang kemiskinan, yaitu culturalist dan structuralist. Kulturalis cendrung menyalahkan kaum miskin, meskipun kesempatan ada mereka gagal memanfaatkannya, karena terjebak dalam budaya kemiskinan. Strukturalis beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat pada diri orang miskin, tetapi adalah sebagai akibat dari perubahan priodik dalam bidang sosial dan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan sebagainya. Implikasi dari dua pandangan ini juga berbeda, terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan perubahan aspek kultural misalnya pengubahan kebiasaan hidup. Hal ini akan sulit dan memakan waktu lama, dan biaya yang tidak sedikit. Terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan pengubahan struktur kelembagaan seperti kelembagaan ekonomi, sosial dan kelembagaan lain yang terkait berpartisipasi.

I.B. Pengertian Kemiskinan
Para ahli dan lembaga mendefisinikan kemiskinan sebagai berikut :
BAPPENAS (1993) mendefisnisikan kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.
Friedman (1979) mengemukakan kemiskinan adalah ketidaksamaan  kesempatan untuk memformulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliptui : asset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna.
Reitsma dan Kleinpenning (1994) mendefisnisikan kemiskinan sebagai ketidak mampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat material maupun non material.
Menurut Ellis (1994) kemiskinan merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi,sosial politik.Faturchman dan Marcelinus Molo (1994) mendefenisikan bahwa kemiskinan adalah ketidak mampuan  individu dan  rumah tanggau ntuk memenuhi kebutuhan dasarnya.Levitan(1980)mengemukakan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak.Menurut Suparlan (1993) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu  standar  tingkat  hidup yang  rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan  materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakatyangbersangkutan.Jadi, dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan  kemiskinan  adalah suatu situasi baik yang merupakan  proses maupun akibat dari adanya ketidak mampuan  individu berinteraksi dengan  lingkungannyauntukkebutuhanhidupnya. Memahamai substansi kemiskinan merupakan langkah penting bagi perencana program dalam mengatasi kemiskinan. Menurut Sutrisno (1993), ada dua sudut pandang dalam memahami substansi kemiskinan di Indonesia. Pertama adalah kelompok pakar dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengikuti pikiran kelompok agrarian populism, bahwa kemiskinan itu hakekatnya, adalah masalah campur tangan yang terlalu luas dari negara dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat pedesaan. Dalam pandangan ini, orang miskin mampu membangun diri mereka sendiri apabila pemerintah memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur diri mereka sendiri. Kedua, kelompok para pejabat, yang melihat inti dari masalah kemiskinan sebagai masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak meiliki jiwa wiraswasta, dan pendidikannya rendah. Disamping itu, kemiskinan juga terkait dengan kualitas sumberdaya manusia. Berbagai sudut pandang tentang kemiskinan di Indonesia dalam memahami kemiskinan pada dasarnya merupakan upaya orang luar untuk memahami tentang kemiskinan. Hingga saat ini belum ada yang mengkaji masalah kemiskinan dari sudut pandang kelompok miskin itu sendiri.
Kajian Chambers (1983) lebih melihat masalah kemiskinan dari dimensi si miskin itu sendiri dengan deprivation trap, tetapi Chambers sendiri belum menjelaskan tentang alasan terjadinya deprivation trap itu. Dalam tulisan ini dicoba menggabungkan dua sudut pandang dari luar kelompok miskin, dengan mengembangkan lima unsur keterjebakan yang dikemukakan oleh Chambers (1983), yaitu :
(1) kemiskinan itu sendiri,
(2) kelemahan fisik,
(3) Keterasingan,
(4) Kerentanan, dan
(5) Ketidak berdayaan.

I.BI.Budaya Kemiskinan
Sumarjan (1993) mengemukakan bahwa budaya kemiskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya. Kemiskinan yang diderita oleh masyarakat dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin dirubah, karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaikan diri pada kemiskinan itu, agar tidak merasa keresahan jiwa dan frustrasi secara berkepanjangan. Dalam rangka budaya miskin ini, manusia dan masyarakat menyerah kepada nasib dan bersikap tidak perlu, dan bahkan juga tidak mampu menggunakan sumber daya lingkungan untuk mengubah nasib.

Menurut Oscar Lewis (1983), budaya kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualist dan berciri kapitalisme. Budaya tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan perwujudan dan kesadaran akan mustahilnya mencapai akses, dan lebih merupakan usaha menikmati masalah yang tak terpecahkan (tak tercukupi syarat, tidak sanggupan). Budaya kemiskinan melampaui batas-batas perbedaan daerah, perbedaan pedesaan-perkotaan, perbedaan bangsa dan negara, dan memperlihatkan perasaan yang mencolok dalam struktur keluarga, hubungan-hubungan antar pribadi, orientasi waktu, sistem-sistem nilai, dan pola-pola pembelanjaan.
Menurut Lewis , budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cendrung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakatyangmemilikiseperangkatkondisi:

(1)Sistem ekonomi uang, buruh  upahan dan sistem  produksi untuk keuntungan
(2)tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah  pengangguran bagi tenaga takterampil
(3)rendahnyaupahburuh
(4)tidak berhasilnya golongan berpenghasilan  rendah  meningkatkan organisiasi sosial, ekonomi dan  politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah
(5)sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem  unilateral
(6)kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertical, dan sikap hemat,serta
(7)adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidak sanggupanpribadi.
I.B2. Ciriciri Kebudyaan Kemiskinan:
(1)fatalisme
(2)rendahnya tingkat aspires
(3)rendahnya kemauan mengejar sasaran
(4)kurang melihat kemajuan pribadi
(5)perasaan ketidak berdayaan/ketidak mampuan
(6)Perasaan untuk selalu gagal
(7)Perasaan menilai diri sendiri negative
(8)Pilihan sebagai posisi pekerja kasar,dan
(9)Tingkat kompromis yang menyedihkan.
Berkaitan dengan budaya sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mengubah nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke arah yang sesuai dengan nilai-nilai golongan  kelas menengah, dengan  menggunakan  metode-metode  psikiatri kesejahteraan  sosial-pendidikan tanpa lebih dahulu (ataupun secara bersamaan) berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataan kenyataan struktur sosial (pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan pola-pola kebudayaan membatasi lingkup partisipasi sosial dan peyaluran kekuatan sosial) akan cendrung gagal. Budaya kemiskinan bukannya berasal dari kebodohan, melainkan justru berfungsi bagi penyesuaian diri.
Budaya kemiskinan bukanlah hanya adaptasi terhadap seperangkat syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih luas , sekali budaya tersebut sudah tumbuh, ia cendrung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melaui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya kemiskinan cendrung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang berlapis-lapis rusak atau berganti, seperti masa pergantian feodalis ke kapitalis atau pada masa pesatnya perubahan teknologi. Budaya kemiskinan juga merupakan akibat penjajahan yakni struktur ekonomi dan sosial pribumi diobrak, sedangkan atatus golongan  pribumi tetap dipertahankan  rendah, juga dapat tumbuh  dalam  proses  penghapusan suku. Budaya kemiskinan cendrung dimiliki oleh masyarakat strata sosial yang  lebih  rendah,  masyarakat terasing, dan warga urban yang berasal dari buruh  tani  yang  tidak  memiliki tanah.
Hal penting dalam  membahas kemiskinan dan kebudayaan adalah untuk mengetahui seberapa cepat orang-orang miskin akan  merubah  kelakuan mereka,  jika mereka  mendapat kesempatan baru dan macam hambatan atau halangan-halangan yang baik atau buruk yang akan timbul dari reaksi tersebut terhadap situasi-situasi masa lampau. Untuk menentukan macam kesempatan-kesempatan yang harus diciptaan untuk menghapus kemiskinan, yaitu mendorong oang-orang miskin melakukan  adapatasi terhadap kesempatan-kesempatan yang bertentangan dengan pola-pola kebudayaan yang mereka pegang teguh dan cara mereka dapat mempertahankan  pola-pola kebudayaan yang mereka pegang teguh tersebut agar tidak akan bertentangan dengan aspirasi-aspirasi lainnya. Hanya orang-orang miskin yang tidak mampu menerima kesempatan-kesempatan karena mereka tidak dapat membuang norma-norma kelakukan yang digolongkan  sebagai pendukung kebudayaan kelas bawah. Akibat kemiskinan tersebut, sebagian besar penduduk Indonesia menghadapinya dengan nilai-nilai pasrah. Terbentuknya pola pikir dan perilaku pasrah  itu dalam  jangka waktu yang lama akan berubah menjadi semacam “institusi permanen” yang mengatur perilaku  mereka dalam  menyelesaikan  problematika di dalam hidup mereka atau krisis lingkungan mereka sendiri. Menurut penganut paradigma kemiskinan kebudayaan ini, orang yang berada dalam kondisi serupa tidak sanggup melihat peluang dan jalan keluar untuk memperbaiki kehidupannya. Karakteristik kelompok ini terlihat dari pola substensi mereka yang berorientasi dari tangan kemulut.Hal penting dalam membahas kemiskinan dan kebudayaan adalah untuk mengetahui seberapa cepat orang-orang miskin akan mengubah kelakuan mereka, jika mereka mendapat kesempatan-kesempatan baru; dan macam hambatan atau halangan-halangan yang baik atau buruk yang akan timbul dari reaksi tersebut terhadap situasi-situasi masa lampau. Untuk menentukan macam kesempatan-kesempatan yang harus diciptaan untuk menghapus kemiskinan, yaitu mendorong oang-orang msikin melakukan adapatasi terhadap kesempatan-kesempatan yang bertentangan dengan pola-pola kebudayaan yang mereka pegang teguh dan cara mereka dapat mempertahankan pola-pola kebudayaan yang mereka pegang teguh tersebut agar tidak akan bertentangan dengan aspirasi-aspirasi lainnya. Hanya orang-orang miskin yang tidak mampu menerima kesempatan-kesempatan karena mereka tidak dapat membuang norma-norma kelakukan yang digolongkan sebagai pendukung kebudayaan kelas bawah.
Akibat kemiskinan tersebut, sebahagian besar penduduk Indonesia menghadapinya dengan nilai-nilai pasrah atau nrimo (kemiskinan kebudayaan). Terbentuknya pola pikir dan prilaku pasrah itu dalam jangka waktu yang lama akan berubah menjadi semacam “institusi permanen” yang mengatur prilaku mereka dalam menyelesaikan problematika di dalam hidup mereka atau krisis lingkungan mereka sendiri (Lewis, 1968 dalam Haba, 2001). Menurut penganut paradigma kemiskinan kebudayaan ini, orang yang berada dalam kondisi serupa tidak sanggup melihat peluang dan jalan keluar untuk memperbaiki kehidupannya. Karakteristik kelompok ini terlihat dari pola substensi mereka yang berorientasi dari tangan ke mulut (from hand to mouth) (Haba, 2001 ).

I.C.Formulasi Kebudayaan Kemiskinan
Formulasi kebudayaan kemiskinan mencakup pengertian bahwa semua orang yang terlibat dalam situasi tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah sebagai salah satu bentuk adaptasi yang realistis, itu menurut Parker Seymour danRobertJ.Kleiner(1983).

I.D.Kemiskinan Struktural
Kemiskinan strukturl adalah suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu  masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial, dan  oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku dalam  masyarakat  itu sendiri. Menurut  Selo Sumarjan, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasilitas pemukiman, kekurangan  pendidikan, kekurangan  komunikatif, kekurangan  fasilitas  untuk  mengembangkan usaha dan mendapatkan  peluang  kerja dan kekuranganperlindunganhukum

I.D1. Golongan kaum miskin terdiri dari

(1)Parapetaniyangtidakmemilikitanahsendiri
(2)Petani yang tanah miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberimakankepadadirinyasendiridankeluarganya
(3)Kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled labourerds)
(4)Para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah (golongan ekonomilemah).
Kemiskinan  struktural  meliputi  kekurangan  sandang dan  pangan, kekurangan  fasilitas pemukiman  yang  sehat,  kekurangan pendidikan, kekurangan  komunikasidenganduniasekitarnya.

I.D2. Beberapa ciri kemiskinan struktural

(1)Tidak ada atau  lambannya  mobilitas sosial (yang miskin akan tetap hidup dengan kemelaratanya dan yang kaya akan tetap menikmati kemewahannya)
(2)mereka terletak dalam kungkungan struktur sosial yang menyebabkan  mereka  kekuranganhasratuntukmeningkatkantarafhidupnya
(3)Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak  rintangan   yang menghalangi mereka untuk maju. Pemecahan  permasalahan  kemiskinan akan bisa dilakukan bilamana struktur sosial yang berlaku itu dirubah secara mendasar.

I.D3. Contoh kemiskinan struktural

(1)Pola stratifikasi (seperti dasar pemilikan dan penguasaan tanah) di desa mengurangi atau merusak pola kerukukan dan ikatan timbal-balik tradisional.
(2)Struktur desa nelayan, yang sangat tergantung pada juragan di desanya sebagaipemilikkapal.
(3)Golongan pengrajin di kota kecil atau pedesaan yang tergantung pada orang kota yang menguasai bahan dan pasaranya.
Pada hakekatnya perbedaan antara si kaya dengan si miskin tetap akan ada, dalam sistem sosial ekonomi manapun. Yang lebih diperlukan adalah bagaimana lebih memperkecil kesenjangan sehingga lebih mendekati perasaan keadilan sosial. Sudjatmoko (1984) berpendapat bahwa, pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan ekonomi akan melanggengkan ketimpangan struktural. Pola netes ke bawah memungkinkan berkembangnya perbedaan ekonomi, dan prilaku pola mencari nafkah dari pertanian  ke  non pertanian, tetapi proses ini akan lamban dan harus diikuti dengan pertumbuhan yang tinggi. Kemiskinan  tidak dapat diatasi hanya dengan membantu golongan  miskin saja, tanpa menghadapi dimensi-dimensi struktural seperti ketergantungan dan eksploitasi. Permasalahannya adalah dimensi-dimensi struktural manakah yang mempengarhui secara langsung terjadinya kemiskinan, bagaimana ketepatan dimensiuntukkondisisosialbudayasetempat.
Kemiskinan struktural menurut Selo Sumarjan (1980) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan strukturl adalah suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Golongan kaum miskin ini terdiri dari ; (1) Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, (2) Petani yang tanah miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluargamnya, (3) Kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled labourerds), dan (4) Para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah (golongan ekonomi lemah).
Kemiskinan struktural tidak sekedar terwujud dengan kekurangan sandang dan pangan saja, kemiskinan juga meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya, sosial yang mantap.
Beberapa ciri kemiskinan struktural, menurut Alpian (1980) adalah
(1) Tidak ada atau lambannya mobilitas sosial (yang miskin akan tetap hidup dengan kemelaratanya dan yang kaya akan tetap menikmati kemewahannya),
(2) mereka terletak dalam kungkungan struktur sosial yang menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan
(3) Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Pemecahan permasalahan kemiskinan akan bisa dilakukan bilamana struktur sosial yang berlaku itu dirubah secara mendasar.
Soedjatmoko (1984) memberikan contoh kemiskinan structural;
(1) Pola stratifikasi (seperti dasar pemilikan dan penguasaan tanah) di desa mengurangi atau merusak pola kerukukan dan ikatan timbal-balik tradisional,
(2) Struktur desa nelayan, yang sangat tergantung pada juragan di desanya sebagai pemilik kapal, dan
(3) Golongan pengrajin di kota kecil atau pedesaan yang tergantung pada orang kota yang menguasai bahan dan pasarnya.
Hal-hal tersebut memiliki implikasi tentang kemiskinan structural :
(a) kebijakan ekonomi saja tidak mencukupi dalam usaha mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural, dimensi struktural perlu dihadapi juga terutama di pedesaan; dan
(b) perlunya pola organisasi institusi masyarakat pedesan yang disesuaikan dengan keperluannya, sebaga sarana untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan bargaining power, dan perlunya proses Sosial learning yang spesifik dengan kondisi setempat.
Adam Malik (1980) mengemukakan bahwa untuk mencari jalan agar struktur masyarakat Indonesia dapat diubah sedemikian rupa sehingga tidak terdapat lagi di dalamnya kemelaratan structural. Bantuan yang terpenting bagi golongan masyarakat yang menderita kemiskinan struktural adalah bantuan agar mereka kemudian mampu membantu dirinya sendiri. Bagaimanapun kegiatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan maupun pemerataan tidak dapat mengihilangkan adanya kemiskinan struktural.
Pada hakekatnya perbedaan antara si kaya dengan si miskin tetap akan ada, dalam sistem sosial ekonomi manapun. Yang lebih diperlukan adalah bagaimana lebih memperkecil kesenjangan sehingga lebih mendekati perasaan keadilan sosial. Sudjatmoko (1984) berpendapat bahwa, pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan ekonomi akan melanggengkan ketimpangan struktural. Pola netes ke bawah memungkinkan berkembangnya perbedaan ekonomi, dan prilaku pola mencari nafkah dari pertanian ke non pertanian, tetapi proses ini akan lamban dan harus diikuti dengan pertumbuhan yang tinggi. Kemiskinan tidak dapat diatasi hanya dengan membantu golongan miskin saja, tanpa menghadapi dimensi-dimensi struktural seperti ketergntungan, dan eksploitasi. Permasalahannya adalah dimensi-dimensi struktural manakah yang mempengarhui secara langsung terjadinya kemiskinan, bagaimana ketepatan dimensi untuk kondisi sosial budaya setempat.
Sinaga dan White (1980) menunjukkan aspek-aspek kelembagaan dan struktur agraris dalam kaitannya dengan distribusi pendapatan kemiskinan:
(1) penyebaranan teknologi, bahwa bukan teknologi itu sendiri, tetapi struktur kelembagaan dalam masyarakat tenpat teknologi itu masuk yang menentukan bahwa teknologi itu mempunyai dampak negatif atau positif terhadap distribusi pendapatan
(2) lembaga perkreditan pedesaan, perkereditan yang menginginkan tercapainya pemerataan pendapatan, maka program perkreditan tersebut justru harus diskriminatif, artinya subsidi justru harus diberikan kepada petani kecil, bukan pemerataan berdasaran pemilikan atau penguasaan lahannya;
(3) kelembagaan yang mengatur distribusi penguasaan atas faktor-faktor produksi di pedesaan turut menentukan tingkat pendapatan dari berbagai golongan di masyarakat,karena tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan faktor ekonomi (interaksi antara penawaran dan permintaan) saja: dan
(4) Struktur penguasaan atas sumber-sumber produksi bukan tenaga kerja (terutama tanah dan modal) yang lebih merata dapat meningkatkan pendapatan penduduk yang berada dibawahi garis kemiskinan.

2.KESENJANGAN SOSIAL
Kesenjangan sosial  diartikan sebagai kesenjangan (ketimpangan) atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan  atau  memanfaatkan  sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan  primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang berusaha dan kerja, dapat berupa kebutuhan sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana perjuangan hak azasi, sarana saluran politik, pemenuhan pengembangan karir, dan lain-lain.
Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan  menghalangi seseorang untuk memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan yang tersedia. Secara teoritis sekurang kurangnya ada duafaktoryangdapatmenghambat.

2.A. Faktor-faktor Kesenjangan Sosial

a. Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal),
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia karena tingkat pendidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul sebagai akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai luas, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupan masa depan. Dalam penjelasan Lewis (1969), kesenjangan sosial tipe ini muncul karena masyarakat itu terkungkungdalamkebudayaankemiskinan.

b. Faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang (factor eksternal),
Hal ini dapat terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan), sehingga dapat membatasi atau memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia. Dengan kata lain, kesenjangan sosial bukan terjadi karena seseorang malas bekerja atau tidak mempunyai kemampuan sebagai akibat keterbatasan atau rendahnya kualitas sumberdaya manusia, tetapi karena ada hambatan-hambatan atau tekanan-tekanan struktural. Kesenjangan sosial ini merupakan salah satu penyebab munculnyakemiskinanstruktural.

Kesenjangan sosial tidak semata-mata karena faktor internal dan kebudayaan, tetapi lebih disebabkan oleh adanya hambatan struktural yang membatasi serta tidak memberikan peluang untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada. Breman (1985:166) menggambarkan bahwa bagi yang miskin “jalan ke atas sering kali dirintangi”, sedangkan “jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui”. Dengan kata lain, gejala kesenjangan sosial dan kemampuan kemiskinan lebih disebabkan adanya himpitan struktural. Ketidakberdayaan (politik) dan kemiskinan kronis menyebabkan mereka  mudah ditaklukkan dan dituntun untuk mengikuti kepentingan dan kemauan elit penguasa dan pengusaha. Apalagi tatanan politik dan ekonomi dikuasai oleh elit penguasa dan pengusaha.

2.B. Masalah Kesenjangan Sosial

a. Kemisikinan, Meski saat ini angka pertumbuhan ekonomi bangsa kita terus menunjukan grafik kenaikan namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat di sekitar kita yang hidupnya masih berada di bawah standar yang layak. Ini menjadi masalah sosial yang bisa kita temukan dengan mudah baik di daerah pedesaanmaupunperkotaan.
b. Lapangan kerja, Masalah sosial yang satu ini bisa mendorong timbulnya masalah lain yang tidak kalah seriusnya yaitu meningkatnya angka kriminalitas, kehidupan suatu keluarga yang tidak harmonis, rasa frustasi dan lain lain. Hal ini juga menjadiurusanyangbutuhpenangananserius.
c. Kesenjangan sosial, Masalah sosial ini juga bisa menimbulkan efek yang lain. Misalnya terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara orang yang mampu dan kelebihan harta serta orang yang hidupnya selalu dalam kondisi yang pas pasan saja. Hal ini bisa menimbulkan rasa kecemburuan yang tinggi sehingga menghilangkanrasapersaudaraandimasyarakat.
d. Kemacetan lalu lintas, Masalah sosial yang satu ini lebih sering terjadi terutama di kota-kota besar. Padahal efek dari kemacetan ini juga bisa menimbulkan kerugian yang cukup besar. Misalnya karena harus antri di keramaian lalu lintas orang akan kehilangan waktu untuk bekerja atau kegiatan lainyangbersifatproduktif.
e. Disiplin yang kurang, Hal ini menjadi masalah sosial yang paling punya pengaruh terhadap kemajuan suatu wilayah atau negara. Namun untuk menangani masalah yang satu ini memang dibutuhkan kerja  keras dan waktu yang cukup lama. Karena untuk menghilangkan problem yang kadangkala sudah menjadi budaya ini butuh pemahamanyangcukupdalamwarga.

BAB III
PERTUMBUHAN, KESENJANGAN DAN KEMISKINAN

A.Hubungan antara Pertumbuhan dan Kesenjangan
Data decade 1970an dan 1980an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi di banyak Negara berkembang, terutama Negara-negara dengan proses pembangunan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi: semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya.  Studi dari Jantti (1997) dan Mule (1998) memperlihatkan perkembangan ketimpangan pendapatan antara kaum miskin dan kaum kaya di Swedia, Inggris dan AS, serta beberapa Negara di Eropa Barat menunjukkan kecenderungan yang meningkat selama decade 1970an dan 1980an.  Jantti membuat kesimpulan semakin besar ketimpangan distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan public.  Dalam perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya pendapatan dari istri dalam jumlah pendapatan keluarga merupakan dua factor penyebab penting.
Literature mengenai perubahan kesenjangan dalam dsitribusi pendapatan awalnya didominasi oleh apa yang disebuthipotesis Kuznets.  Dengan memakai data antar Negara (cross section) dan data dari sejumlah survey/observasi di tiap Negara (time series), Simon Kuznets menemukan relasi antara kesenjangan pendapatan dan tingkat perdapatan per kapita berbentuk U terbalik.  Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan (rural) ke ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industry.
B.Hubungan antara Pertumbuhan dan Kemiskinan
Dasar teori dari korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan dengan ketimpangan, seperti yang telah dibahas di atas.  Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsur berkurang.  Namun banyak factor lain selain pertumbuhan yang juga mempunyai pengaruh besar terhadap tingkat kemiskinan di suatu wilayah/Negara seperti struktur pendidikan tenaga kerja dan struktur ekonomi.
C. Temuan Empiris

C.1  Distribusi Pendapatan
Data pengeluarankonsumsi dipakai sebagaipendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat, walau diakui cara demikian memiliki kelemahan serius.  Penggunaan data pengeluaran konsumsi bisa memberi informasi mengenai pendapatan yang under estimate.  Alasannya sederhana, jumlah pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bias lebih besar atau lebih kecil.  Misalnya, pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsinya juga besar.  Dalam hal ini berarti ada tabungan.  Sedangkan bila jumlah pendapatannya rendah, tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah.  Banyak rumah tangga memakai kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu, misalnya membeli rumah, mobil dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan untuk liburan.
Pengertian pendapatan (income) yang artinya pembayaran yang didapat karena bekerja atau menjual jasa, tidak sama dengan pengertian kekayaan (wealth).  Kekayaan seseorang bias jauh lebih besar daripada pendapatannya.  Seseorang bias saja tidak punya pendapatan/pekerjaan (penghasilan), tetapi ia sangat kaya karena ada warisan keluarga.  Banyak pengusaha muda di Indonesia kalau diukur dari tingkat pendapatan mereka tidak terlalu berlebihan, tetapi mereka sangat kayak arena perusahaan dimana mereka bekerja adalah milik mereka (atau milik orangtua mereka).
Menjelang pertengahan 1997, beberapa saat sebelum krisis ekonomi, tingkat pendapatan per kepala di Indonesia sudah melebihi 1000 dolar AS, jauh lebih tinggi dibanding  30 tahun lalu.  Namun, apa artinya jika hanya 10% saja dari seluruh jumlah penduduk tanah air yang menikmati 90% dari jumlah pendapatan nasional atau PDB.  Sedangkan sisanya (90%) hanya menikmati 10% dari pendapatan nasional.
Jika kondisi di atas dibandingkan dengan Negara-negara maju yang distribusi pendapatannya lebih baik, misalnya Swiss, dengan menggunakan kurva Lorenz, maka kurva tersebut untuk Indonesia bentuknya lebih melebar sedangkan kurva Lorenz untuk Swiss lebih mendekati garis equality.  Dengan kata lain, daerah konsentrasi pendapatan di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan Swiss.
3.2.Dengan menggunakan kurva Lorenz
Secara teoritis, perubahan pola distribusi pendapatan di pedesaan dapat disebabkan oleh factor berikut:
a.    Akibat arus penduduk/pekerja dari pedesaan ke perkotaan yang selama periode orde lama berlangsung sangat pesat.
b.    Struktur pasar dan besarnya distorsi yang berbeda di pedesaan dengan di perkotaan
c.    Dampak positif dari proses pembangunan ekonomi nasional

BAB IV
KEBIJAKAN ANTI-KEMISKINAN STRATEGI DAN INTERVENSI
Ada 3 (tiga) pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni:
1.      Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pro kemiskinan
2.      Pemerintahan yang baik (good governance)
3.      Pembangunan social
Untuk mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi pemerintah sesuai sasaran atau tujuannya.  Sasaran atau tujuan tersebut dibagi menurut waktu, yakni jangka pendek, menengah dan panjang. Intervensi lainnya adalah manajemen lingkungan dan SDA.  Hancurnya lingkungan dan “habisnya” SDA dengan sendirinya menjadi factor pengerem proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga sumber peningkatan kemiskinan. Intervensi jangka pendek terutama pembangunan sector pertanian dan ekonomi pedesaan, pembangunan transportasi, komunikasi, energy dan keuangan, peningkatan peran serta masyarakat sepenuhnya (stakeholder participation) dalam proses pembangunan dan proteksi social (termasuk pembangunan system jaminan social).
A.    Intervensi jangka menengah dan panjang
Intervensi jangka menengah dan panjang adalah sbb:
1.      Pembangunan sector swasta
2.      Kerjasama regional
3.      Manajemen pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi
4.      Desentralisasi
5.      Pendidikan dan kesehatan
6.      Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan

BAB V
BEBERAPA INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN

1. Indikator Kesenjangan
Ada sejumlah cara untuk mengukur  tingkat  kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam  literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the Generalized Entropy(GE),ukuranAtkinson,danKoefisienGini.
Yang paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0-1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama daripendapatan)
Bila 1 : ketidak merataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.
Ide dasar dari perhitungan  koefisien gini berasal dari Kurva Lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketida kmerataan distribusi pendapatan.
Ketimpangan dikatakan  sangat  tinggi apabilai nilai koefisien gini berkisar antara 0,71-1,0.
Ketimpangan dikatakan  tinggi dengan nilai koefisien gini 0,5-0,7.
Ketimpangan dikatakan sedang dengan nilai koefisien gini antara 0,36-0,49.
Ketimpangan dikatakan  rendah dengan nilai koefisien gini antara 0,2-0,35.

Selain alat ukur diatas, cara pengukuran  lainnya yang  juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan  menjaditigagroup :
40%pendudukdenganpendapatanrendah,
40%pendudukdenganpendapatanmenengah,
20%penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk.

Selanjutnya, ketidak merataan  pendapatan diukur berdasarkan  pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan  rendah.
Menurut  kriteria Bank Dunia, tingkat ketidak merataan dalam distribusi yaitu :
pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan.
Tingkat ketidak  merataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai17%darijumlahpendapatan.
Sedangkan ketidak merataan rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besardari17%darijumlahpendapatan.

B. Indikator Kemiskinan
Karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara berbeda-beda. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan  minimum  makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum  makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedangkan  pengeluaran kebutuhan  minimum  bukan  makanan  meliputi pengeluaran  untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
BPSmenggunakan2macampendekatan,yaitu:
1.Pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach)
Basic Needs Appoarch merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidak mampuan untuk memenuhikebutuhandasar.

B.1. Pendekatan Head Count Index

Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan  minimum  makanan dan  non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan  nonmakanan(nonfoodline).

BAB VI
KEMISKINAN DAN KESENJANGAN SOSIAL DI INDONESIA PRA DAN PASCA RUNTUHNYA ORDE BARU
Semenjak Orde Baru berkuasa, ada beberapa kebijakan yang diterapkan dalam bidang ekonomi. Salah satu kebijakan adalah memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengeluarkan undang-undang Penanaman Modal Asing dengan memberikan persyaratan dan peraturan-peraturan yang lebih ringan dan menarik kepada investor dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Kegiatan industri meningkat tajam dan sangat pada GDP mengalami kenaikan dari sekitar 9 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 17 persen pada tahun 1992 (Booth dan McCawley, 1986:82 dan Sjahrir 1993:16). Pertumbuhan ekonomi juga mengalami kenaikan. Pendek kata, selama Orde Baru perekonomian mengalamii kemajuan pesat. Namun, bersamaan dengan itu ketimpangan sosial atau sekelompok kecil masyarakat, terutama mereka yang memiliki akses dengan penguasa politik dan ekonomi, sedangkan sebagian besar yang kurang atau hanya memperoleh sedikit manfaat. Bahkan, ada masyarakat merasa dirugikan dan tidak mendapat manfaat sama sekali. Kesenjangan sosial semakin terasa mengkristal dengan munculnya gejala monopoli. Monopoli dan oligopoly dan memperkecil akses usaha kecil untuk menggambarkan usaha mereka. Menurut Revrisond Baswer (dikutip dalam Bernes (1995:1) hampir seluruh cabang produksi dikuasai oleh perusahaan konglomerat. Perusahaan-perusahaan besar konglomerat menguasai berbagai kegiatan produksi murni dari produksi, eksploitasi hasil hutan, konstruksi, industri otomotif, transpotasi, perhotelan, makanan, perbankan, jasa-jasa keuangan, dan media komunikasi. Diperkirakan 200 konglomerat menguasai 58 persen PDB. Usaha-¬usaha rakyat yang kebanyakan kecil dan tradisional hanya menguasai 8 persen. Kesenjangan sosial ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi menyebabkan ekonomi rakyat mengalami proses marjinalisasi.
Selain kebijakan ekonomi, kebijakan yang diduga turut menstrimulir kesenjangan social adalah kebijakan penataan lahan (tata ruang). Penerapan kebijakan penataan lahan selama ini belum dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Berbagai kekuatan dan kepentingan telah mempengaruhi dalam penerapan. Tarik menarik berbagai kekuatan dan kepentingan telah menimbulkan konflik antara pengusaha besar dan masyarakat. Dalam konflik acapkali kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Penelitian Suhendar (1994) menyimpulkan bahwa: ”Kooptasi tanah-tanah : terutama di pedesaan oleh kekuatan besar ekonomi dan luar komunitas semakin menggejala. Pembangunan sektor ekonomi, seperti pembangunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata telah menyita banyak lahan penduduk. Demikian pula, instansi-instansi pemerintah memerlukan tanah untuk pembangunan perkantoran, instruktural ekonomi, fasilitas sosial, perumahan, dan lain-lain. Di perkotaan, pemilik modal (konglomerat) bekerja sama dengan birokrasi membeli tanah-tanah penduduk untuk kepentingan pembangunan perumahan mewah, pusat perbelanjaan dan lain–lain. Begitu pula di pedesaan pemilik modal menggusur penduduk dan memanfaatkan Iahan untuk kepentingan agroindustri, perumahan mewah, dan lapangan golf. Dalam banyak kasus, banyak tanah negara yang selama ini dikuasai penduduk dengan status tidak jelas di jadikan sasaran dan cara termudah untuk menggusur penduduk”
Dampak dari penerapan kebijakan penatagunaan lahan antara lain adalah terjadinya marjinalisasi dan pemiskinan masyarakat desa yang tanahnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang dalam banyak hal belum dan kurang dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi rakyat.
A.    Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan Sosial
Semenjak Orde Baru berkuasa, ada beberapa kebijakan yang diterapkan dalam bidang ekonomi. Salah satu kebijakan adalah memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengeluarkan undang-undang Penanaman Modal Asing dengan memberikan persyaratan dan peraturan-peraturan yang lebih ringan dan menarik kepada investor dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Kegiatan industri meningkat tajam dan sangat pada GDP mengalami kenaikan dari sekitar 9 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 17 persen pada tahun 1992 (Booth dan McCawley, 1986:82 dan Sjahrir 1993:16). Pertumbuhan ekonomi juga mengalami kenaikan. Pendek kata, selama Orde Baru perekonomian mengalamii kemajuan pesat. Namun, bersamaan dengan itu ketimpangan sosial atau sekelompok kecil masyarakat, terutama mereka yang memiliki akses dengan penguasa politik dan ekonomi, sedangkan sebagian besar yang kurang atau hanya memperoleh sedikit manfaat. Bahkan, ada masyarakat merasa dirugikan dan tidak mendapat manfaat sama sekali. Kesenjangan sosial semakin terasa mengkristal dengan munculnya gejala monopoli. Monopoli dan oligopoly dan memperkecil akses usaha kecil untuk menggambarkan usaha mereka. Menurut Revrisond Baswer (dikutip dalam Bernes (1995:1) hampir seluruh cabang produksi dikuasai oleh perusahaan konglomerat. Perusahaan-perusahaan besar konglomerat menguasai berbagai kegiatan produksi murni dari produksi, eksploitasi hasil hutan, konstruksi, industri otomotif, transpotasi, perhotelan, makanan, perbankan, jasa-jasa keuangan, dan media komunikasi. Diperkirakan 200 konglomerat menguasai 58 persen PDB. Usaha-¬usaha rakyat yang kebanyakan kecil dan tradisional hanya menguasai 8 persen. Kesenjangan sosial ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi menyebabkan ekonomi rakyat mengalami proses marjinalisasi.
Selain kebijakan ekonomi, kebijakan yang diduga turut menstrimulir kesenjangan social adalah kebijakan penataan lahan (tata ruang). Penerapan kebijakan penataan lahan selama ini belum dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Berbagai kekuatan dan kepentingan telah mempengaruhi dalam penerapan. Tarik menarik berbagai kekuatan dan kepentingan telah menimbulkan konflik antara pengusaha besar dan masyarakat. Dalam konflik acapkali kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Penelitian Suhendar (1994) menyimpulkan bahwa: ”Kooptasi tanah-tanah : terutama di pedesaan oleh kekuatan besar ekonomi dan luar komunitas semakin menggejala. Pembangunan sektor ekonomi, seperti pembangunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata telah menyita banyak lahan penduduk. Demikian pula, instansi-instansi pemerintah memerlukan tanah untuk pembangunan perkantoran, instruktural ekonomi, fasilitas sosial, perumahan, dan lain-lain. Di perkotaan, pemilik modal (konglomerat) bekerja sama dengan birokrasi membeli tanah-tanah penduduk untuk kepentingan pembangunan perumahan mewah, pusat perbelanjaan dan lain–lain. Begitu pula di pedesaan pemilik modal menggusur penduduk dan memanfaatkan Iahan untuk kepentingan agroindustri, perumahan mewah, dan lapangan golf. Dalam banyak kasus, banyak tanah negara yang selama ini dikuasai penduduk dengan status tidak jelas di jadikan sasaran dan cara termudah untuk menggusur penduduk”
Dampak dari penerapan kebijakan penatagunaan lahan antara lain adalah terjadinya marjinalisasi dan pemiskinan masyarakat desa yang tanahnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang dalam banyak hal belum dan kurang dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi rakyat.

BAB VII
NEGARA NEGAR TERMISKIN DI DUNIA
Sebagaimana dirilis oleh majalah bisnis terkemuka di Amerika Serikat, Global Finance bahwa kemiskinan telah menjadi persoalan besar di seluruh dunia, terutama di kawasan Asia Selatan dan Afrika. Kebanyakan dari negara-negara termiskin di dunia ada di benua hitam, Afrika. Sebab, negara-negara yang ada di benua Afrika kerap mengalami bencana, mulai dari kelaparan hingga konflik berkepanjangan, baik yang berupa pemberontakan maupun perang saudara.
Berikut ini adalah daftar 10 negara termiskin di dunia, dimulai dari peringkat pertama diduduki oleh Republik Kongo, dan di posisi sepuluh ditempati oleh Republik Mozambik.

1. Republik Kongo – $300 (GDP Per Kapita)

Negara ini dulunya dikenal dengan nama Zaire (sejak tahun 1971 hingga 1997). Negara yang menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa resminya ini kondisinya porak-poranda oleh perang. Perang Kongo kedua pecah pada tahun 1998. Perang yang melibatkan setidaknya tujuh tentara negara asing ini adalah konflik paling mematikan di dunia sejak Perang Dunia II yang telah menewaskan 5.400.000 orang. Di Afrika, perang ini disebut sebagai Perang Dunia Afrika. Pada tahun 2010, diperkirakan setidaknya 45.000 orang di Kongo tewas setiap bulannya.
Republik Kongo juga dikenal sebagai salah satu tempat terakhir di bumi yang memiliki suku kanibal. Memakan manusia adalah cara untuk bertahan hidup dalam kelaparan yang mempengaruhi sekitar 67% dari populasi. Kongo juga diyakini sebagai tempat terburuk di dunia bagi para wanita, karena ia memiliki tingkat pemerkosaan paling tinggi dalam setahun. Warga setempat percaya bahwa “tidur” dengan seorang gadis perawan akan menyembuhkan AIDS.
2. Burundi – $300 (GDP Per Kapita)

Perang antarsuku menjadi pemandangan yang selalu dapat dijumpai di sini. Burundi sangat miskin dikarenakan negara tersebut tidak pernah benar-benar punya waktu untuk menghentikan perang sipil yang abadi. Korupsi, akses masyarakat miskin terhadap pendidikan, dan persentase yang tinggi dari HIV dan AIDS adalah semua hal yang dikenal mengenai Burundi.

Sekitar 80% dari penduduknya hidup dalam garis kemiskinan. Menurut Program Pangan Dunia, 57% dari anak di bawah lima tahun menderita kekurangan gizi kronis. 93% dari pendapatan Burundi berasal dari penjualan ekspor kopi. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan di 178 negara, penduduk Burundi memiliki kepuasan hidup terendah di dunia dan hampir seluruhnya hidup bergantung pada bantuan asing.
3. Liberia – $500 (GDP Per Kapita)

Liberia adalah salah satu dari sedikit negara di Afrika yang belum pernah dijajah oleh bangsa Eropa. Sebaliknya, Liberia didirikan dan dijajah oleh para budak yang melarikan diri dari Amerika. Budak ini terdiri elite negara dan mereka mendirikan pemerintahan yang mirip dengan Amerika Serikat.
Pada tahun 1980, presiden Liberia digulingkan dan diikuti periode perang sipil. Setelah memakan korban ratusan ribu orang, Liberia berada dalam krisis ekonomi yang mendalam. Statistik menunjukkan bahwa sekitar 90% dari penduduk hidup di bawah penghasilan $1,25 /hari. Sebagai salah satu dari tiga negara termiskin di dunia, Liberia memiliki tingkat pengangguran yang mencapai angka 85%.
4. Somalia – $600 (GDP Per Kapita)

Tidak seperti kebanyakan negara Afrika lainnya, Somalia belum pernah secara resmi dijajah oleh negara manapun. Upaya Kerajaan Inggris untuk membangun koloni di sana berhasil dihalau. Sementara Somalia yang terletak di Afrika Timur itu memiliki hubungan dekat dengan dunia Arab karena menjadi salah satu anggota Liga Arab. Mungkin, karena berlatar belakang Islam, Somalia memiliki salah satu tingkat penderita HIV dan infeksi AIDS terendah. Somalia menjalin persahabatan dengan Uni Soviet untuk membangun militer terbesar di Afrika. Namun sayangnya, hal itu terbukti tidak efektif untuk menahan perang sipil yang pecah pada tahun 1991.

Dalam beberapa tahun terakhir, orang-orang miskin di Somalia telah menemukan cara baru untuk mendapatkan uang. Hal tersebut tak lain dengan cara pembajakan kapal internasional dan mengambil kru dan kargo sebagai sandera. Pembajakan di Somalia telah menjadi begitu umum. Ketika anak-anak muda tumbuh dewasa, mereka ingin menjadi bajak laut karena di situlah uang berada. Perusahaan internasional diwajibkan membayar uang tebusan kepada bajak laut antara 1–20 juta dolar hanya untuk mendapatkan kapal kembali. Bahkan tebusan untuk sebuah kapal tanker yang mengangkut minyak dapat senilai seratus juta dolar.

Beberapa bulan yang lalu, kapal berbendera Indonesia menjadi salah satu korban pembajakan yang dilakukan oleh bajak laut Somalia. Namun, kapal tersebut akhirnya dilepaskan setelah pemerintah bersedia membayar uang tebusan kepada mereka.
5. Guinea-Bissau – $600 (GDP Per Kapita)

Sebagai salah satu negara dengan GDP per kapita terendah, lebih dari dua-pertiga penduduk Guinea-Bissau hidup di bawah garis kemiskinan. Perekonomian terutama bergantung pada pertanian, perikanan, kacang mete, dan kacang tanah sebagai ekspor utama. Suatu periode panjang ketidakstabilan politik telah menyebabkan aktivitas ekonomi tertekan, memburuknya kondisi sosial, dan meningkatkan ketidakseimbangan makro-ekonomi.

Setelah beberapa tahun berlalu, tepatnya pada tahun 1997, Guinea-Bissau memasuki sistem moneter CFA Franc. Namun, kemerosotan ekonomi dan ketidakstabilan politik telah menyebabkan instabilitas moneter internal. Perang sipil yang terjadi pada tahun 1998 dan 1999 serta kudeta militer pada bulan September 2003 kembali mengganggu kegiatan ekonomi.

Sejak sekira 2005, para pengedar narkoba yang berbasis di Amerika Latin mulai menggunakan Guinea-Bissau, bersama dengan beberapa negara tetangga Afrika Barat, sebagai titik transshipment untuk pengedaran kokain ke Eropa.
6. Nigeria – $700 (GDP per kapita)

Di negara yang beribu kota Niamey ini, lebih dari 80% lanskapnya tertutup oleh luasnya gurun sahara. Sementara di sekitar sungai Niger, savana banyak dijumpai. Lebih dari 5000 tahun yang lalu, lahan tersebut sebenarnya ditutupi dengan padang rumput yang subur. Namun, perubahan telah terjadi di 2000 tahun terakhir.

Luas negara ini dua kali ukuran Prancis. Namun, dari 10.000 km panjang jalan raya yang dimiliki, kurang dari 800 km yang diaspal. Semua jalan beraspal berada di dalam kota. Tidak ada jalan beraspal yang menghubungkan kota satu dengan kota lainnya. Nigeria adalah eksportir uranium terbesar di dunia. Sama seperti negara-negara miskin lainnya, hanya sekitar 1 dari 4 orang yang pernah mengenyam bangku pendidikan. Alutsista negara Nigeria juga sangat minim, di mana negara ini hanya memiliki sekitar 12.000 tentara dan 4 pesawat terbang!
7. Eritrea – $700 (GDP Per Kapita)

Lokasi Eritrea memberinya keuntungan mengendalikan rute laut melalui Terusan Suez. Inilah sebabnya mengapa Italia mendirikan koloninya hanya setahun setelah pembukaan kanal pada tahun 1869 dan mengapa pula Inggris menaklukkannya pada tahun 1941. Eritrea ialah negara yang dituduh oleh Amerika Serikat karena diduga memiliki hubungan dengan teroris.

Pada tahun 2009, Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, menuduh Eritrea memasok senjata kepada kelompok militan As-Shabab Somalia yang diyakini memiliki hubungan dengan Al-Qaeda.

Dalam sejarah, diketahui bahwa Fir’aun Mesir banyak mendatangkan gajah dari negara ini sebagai salah satu unit perangnya. Namun, akhir-akhir ini, populasi gajah di sana sudah hampir punah. Selama 1955 hingga 2001, tidak ada gajah yang terlihat. Diyakini bahwa hewan tersebut hampir punah karena menjadi salah satu korban perang yang sedang berlangsung di Eritrea. Sebagai tambahan informasi, di negara ini hanya memiliki 824 sekolah dan dua universitas.

8. Republik Afrika Tengah – $700 (GDP Per Kapita)

Di negara yang beribu kota Bangui ini, kesejahteraan penduduk sepenuhnya bergantung pada bantuan luar negeri dan berbagai organisasi nirlaba. Seperti kebanyakan negara-negara miskin lainnya, masalah gizi buruk dan kelaparan menjadi salah satu persoalan yang dihadapi.
Banyaknya pemilik lahan yang menjual hasil panennya ke luar negeri menjadi salah satu faktor mengapa negara ini kekurangan pangan. Di tahun 2006, ketika terjadi pemberontakan hebat di negeri ini, sekitar 5000 orang mati karena kelaparan.

9. Afghanistan – $800 (GDP Per Kapita)

Afghanistan adalah sebuah negara yang relatif miskin, sangat bergantung pada pertanian dan peternakan. Ekonominya melemah akibat kerusuhan politik dan militer terkini, ditambah kemarau panjang yang menjadi sumber kesulitan bangsa sejak 1998. Sebagian penduduk mengalami krisis pangan, sandang, papan, dan minimnya perawatan kesehatan. Kondisi ini diperburuk oleh operasi militer dan ketidakpastian politik yang membelit negara tersebut. Sementara itu, laju inflasi juga menyisakan banyak masalah bagi rakyat di sana.
Lebih dari 70% penduduk Afganistan hidup dari penghasilan yang berkisar kurang dari $2 per harinya. Perekonomian Afghanistan yang porak-poranda oleh perang tetap bergantung pada poppy. Negara ini ialah penghasil opium (karet kering yang disarikan dari sari biji opium) terkemuka di dunia. Sebagai tambahan, opium adalah bahan dasar pembuatan heroin.

10. Mozambik – $900 (GDP Per Kapita)

Republik Mozambik adalah sebuah negara di Afrika bagian selatan yang berbatasan dengan Afrika Selatan, Swaziland, Tanzania, Malawi, Zambia, dan Zimbabwe. Mozambik merupakan anggota Komunitas Negara-Negara Berbahasa Portugis dan Persemakmuran. Ibu kota sekaligus kota terbesarnya adalah Maputo yang terletak di penghujung bagian selatan.
Menurut data IMF, antara tahun 1994–2006, rata-rata pertumbuhan GDP tahunan negara tersebut sekitar 8%. Walaupun demikian, Mozambik tetap menjadi salah satu negara termiskin dan paling terbelakang di dunia. Kondisi perekonomian negara ini semakin diperparah dengan berbagai macam problematika hidup penduduknya, seperti pecahnya perang saudara hingga gizi buruk yang banyak menimpa anak-anak.

BAB VIII
DAFTAR SERATUS NEGARA TERMISKIN DI DUNIA, INDONESIA MASUK DALAM DAFTAR KE-68
Termiskin itu dinilai dari jumlah GDP (Gross Domestic Product). Di bawah ini adalah daftar 100 negara termiskin di dunia (dihitung berdasarkan US Dollar):

1Zimbabwe $200
2Congo,DemocraticRepublicofthe $300
3Burundi $400
4Liberia $500
5Guinea-Bissau $600
6Somalia $600
7CentralAfricanRepublic $700
8Eritrea $700
9Niger $700
10SierraLeone $700
11Afghanistan $800
12Ethiopia $800
13Malawi $800
14Mozambique $900
15Rwanda $900
16Togo $900
17Nepal $1,000
18Comoros $1,100
19Guinea $1,100
20Madagascar $1,100
21Uganda $1,100
22Burma $1,200
23Gambia,The $1,200
24Mali $1,200
25BurkinaFaso $1,300
26Haiti $1,400
27SaoTomeandPrincipe $1,400
28Tanzania $1,400
29Bangladesh $1,500
30Benin $1,500
31Ghana $1,500
32Zambia $1,500
33Chad $1,600
34Lesotho $1,600
35Tuvalu $1,600
36Coted’Ivoire $1,700
37Kenya $1,800
38Korea,North $1,800
39Senegal $1,800
40Tajikistan $1,800
41Mauritania $1,900
42SolomonIsland $1,900
43Cambodia $2,100
44Laos $2,100
45Kyrgyzstan $2,200
46Nigeria $2,200
47Sudan $2,200
48Kosovo $2,300
49Micronesia,FederatedStatesof $2,300
50PapuaNewGuinea $2,300
51Cameroon $2,400
52Moldova $2,500
53Timor-Leste $2,500
54Pakistan $2,600
55Yemen $2,600
56Uzbekistan $2,700
57India $2,900
58MarshallIslands $2,900
59Vietnam $2,900
60Nicaragua $3,000
61Mongolia $3,300
62Philippines $3,400
63Fiji $3,700
64Honduras $3,700
65Kiribati $3,700
66Congo,Republicofthe $3,800
67Djibouti $3,800
68Indonesia $3,900
69Guyana $4,000
70Iraq $4,000
71Morocco $4,000
72CapeVerde $4,200
73Paraguay $4,300
74SriLanka $4,400
75Tonga $4,400
76Maldives $4,500
77Bolivia $4,700
78Vanuatu $4,700
79Bhutan $4,800
80Syria $4,900
81Georgia $5,000
82Jordan $5,000
83Nauru $5,000
84Samoa $5,000
85Swaziland $5,100
86Guatemala $5,400
87Egypt $5,500
88Namibia $5,500
89Turkmenistan $5,800
90China $6,100
91Albania $6,400
92ElSalvador $6,400
93Armenia $6,600
94BosniaandHerzegovina $6,600
95Algeria $7,100
96Ecuador $7,700
97Jamaica $7,700
98Ukraine $7,800
99Tunisia $8,000
100Palau $8,100

Indonesia memang termasuk dalam daftar 100 negara termiskin di dunia. Sayang sekali, padahal Indonesia mempunyai banyak kekayaan alam maupun kerajinan tangan. Moga-moga tahun depan, Indonesia bisa keluar dari daftar ini, ataupun meningkatGDPnya.

BAB IX
Penutup
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru bukan hanyak menciptakan kemiskinan dan kesenjangan pada masa itu, melainkan dampak kebijakan tersebut telah menciptakan kemiskinan dalam berbagai bentuk baik budaya kemiskinan maupun kemiskinan struktural hingga pasca runtuhnya orde baru (masa reformasi). Kebijakan pemerintah pada era tersebut pun telah menciptakan kesenjangan sosial, baik kesenjangan antardaerah, antargolongan maupun antarmasyarakat yang hingga kini belum dapat diperbaiki oleh pemerintahan era reformasi.
Jadi  kesenjangan sosial tidak semata-mata karena faktor internal dan kebudayaan, tetapi lebih disebabkan oleh adanya hambatan struktural yang membatasi serta tidak memberikan peluang untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia. Kendati faktor internal dan kebudayaan (kebudayaan kemiskinan) mempunyai andil sebagai penyebab kesenjangan sosial, tetapi tidak sepenuhnyamenentukan.

Di Indonesia, kemiskinan merupakan salah satu masalah besar. banyak studi empiris yang memang membuktikan adanya suatu relasi trade off yang kuat antara laju pertumbuhan pendapatan dan  tingkat kemiskinan, hubungan negatif tersebut tidak sistematis. Namun, dari beberapa studi empiris yang pernah dilakukan, pendekatan yang digunakan berbeda-beda dan batas kemiskinan yang dipakai beragam pula, sehingga hasil atau gambaran mengenai
BAB X
DAFTAR PUSTAKA
http://blog.uin-malang.ac.id/nita/2011/01/06/kemiskinan-dan-kesenjangan-pendapatan/
http://www.google.com
Diposkan oleh Ratna Sari di 02:09

http://tiwimuliawan.blog.com/2009/10/13/ekonomi-indonesia/
Alfinn, Mely G. Tan, dan Soemardjan. 1980. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta.
Baker, David, 1980, ” Memahami kemiskinan di Kota”. Prisma, 6 98), hal. 3-8.
Bappenas. 1993. Panduan Program Inpres Desa Tertinggal. Jakarta.
Booth, Anne dan McCawley, 1986, Ekonomi Orde Baru, Jakarta.
Breman, Jan, 1985, “Sistem tenaga Kerja Dualistis: Suatu Kritik Terhadap Konsep Sektor Informal” . dalam Chris Manning dan Tajuddin Noor Effendi (Ed), Urbanisasi, Pengangguran, dan sector Informal di Jakarta., Gramedia. Jakarta.